Urgensi Standar Internasional Kepariwisataan

- 2 Oktober 2021, 15:32 WIB
Yudhi Koesworodjati/dok.pribadi
Yudhi Koesworodjati/dok.pribadi /

PATUT  diakui, kegiatan kepariwisataan kita masih dalam taraf “menjual” kekayaan alam. Dan sebagian besar tanpa dukungan amenitas ataupun atraksi budaya yang memadai. Dihampir semua objek wisata kita, misalnya kalau ada pantai, beberapa ratus meter sebelumnya dibangun gardu, ada pos tiket masuk, dihitung tarif jumlah orang dan jenis kendaraannya. Harus bayar dulu untuk bisa lihat alamnya. Terlebih lagi dibanyak kasus lokasi destinasi wisata, tiket masuk untuk turis asing ditetapkan jauh lebih mahal hingga mereka tidak mau berkunjung kembali, dan ini dikeluhkan juga oleh jasa wisata travelnya. Terbersit pertanyaan kenapa ya jualan kepunyaannya Allah?

Berbeda halnya dengan destinasi di luar negeri dalam lingkup internasional, sudah tidak seperti itu. Wisatawan berkunjung misalnya ke pantai Oostende, wilayah Flemish di Belgia, ya tidak ada tiket masuk, yang bayar ya cuma ketika sewa hotel, makan, dan lainnya. Di Paris, ya bayar kalau mau masuk ke museum, naik ke Menara Eiffel. Sisanya ya tidak berbayar. Alam lebih banyak digratiskan. Kalau kita punya alam yang baik, alamnya itu menjadi daya tarik pariwisata tetapi yang menghasilkan uang itu adalah kegiatannya, amenitasnya. aksesibilitasnya dan bisa jadi yang lebih mahal di sana itu objeknya adalah budaya. Alamnya itu sebagai daya tarik. Karena itu sebenarnya merupakan public domain (ranah publik). Semua orang berhak untuk datang, berhak menikmati pantai, menikmati laut, air terjun dan lain-lain dengan aturan-aturan sosial yang ada.

Kita memang masih berpikir dengan paradigma natural endowment dalam eksplorasi ekonomi, termasuk dalam tourism economy. Perlu ada shipping of mind agar lingkungan alam sebagai public goods terjaga lestari melalui diseminasi greentourism, dan stakeholder bersiap memproduksi atraksi wisata yang terkoneksi dengan alam, sehingga setiap lokasi memiliki diferensiasi market yang unik.

Fenomena di atas mengingatkan kita bahwa mengembangkan pariwisata adalah juga mengembangkan masyarakatnya. Sebagai produk kolektif berupa ‘citra destinasi’ maka banyak pemangku kepentingan (stakeholders maupun shareholders) yang terkait.

Dan ini semua berpulang kembali ke kepala daerahnya sebagai “playing captain” yang akan mengarahkan secara teknis, arah dan kebijakan kepariwisataannya, seraya menginduksi, mengenalkan, memperluas cakrawala pandang, tentang apakah pariwisata itu. Hal itu dapat terwujud bila “top of the top management” mengarahkan biduk pembangunan dan pengembangan kepariwisataan daerahnya kearah daya tarik wisata dengan skala dan standar internasional, disertai komitmen tinggi berdasar suatu pemahaman yang tinggi pula oleh aparat dibawahnya.

Salah satu langkah besar bagaimana caranya agar destinasi menjadi tujuan wisatawan mancanegara adalah membuatkan standarisasi dan sertifikasi internasional dari berbagai macam fasilitas dan kegiatan. Itu tidak bisa tidak. Karena tanpa itu kita tidak bisa masuk kedalam destinasi internasional. Dampak lanjutannya apabila daya tarik pariwisatanya terstandarisasi secara internasional oleh badan-badan pariwisata internasional adalah turis akan nyaman untuk datang kesana, tour agent skala dunia akan membujuk potential market untuk bisa datang dalam jumlah lebih besar dan length of stay pun akan meningkat,

Upaya ini dapat diawali dengan membuat people partnership yang dasarnya adalah membangun people engagement sehingga akan ada rasa self of belonging. Kalau tidak ada keterikatan dan ketergantungan masyarakat terhadap kegiatan pariwisata maka tidak akan ada pula ketergantungan kegiatan pariwisata dengan masyarakat. Tidak akan terjadi engagement jika tidak terjadi partnership. Sehingga, kalau ada wisatawan mancanegara dari seluruh dunia berkunjung ke suatu destinasi tersebut masyarakat setempat pasti bisa menjelaskan, bukan suatu program yang lip service.

Kemudian kita juga menggunakan prinsip memberdayakan potensi lokal yang memiliki local content/ local genius/ local wisdom dengan tingkatan internasional yang berbasis pada prinsip berkelanjutan atau sustainability yang terdiri dari: pelestarian, pemanfaatan teknologi, kesehatan lingkungan, keindahan, keamanan, keselamatan, keramahtamahan, kepedulian, kemudahan dan kenyamanan. Setelah kode etik kepariwisataan tersebut kita penuhi maka selanjutnya bisa didaftarkan dalam international tourism. Barulah kita  dapat menyampaikan komplementarinya seperti komunitas, aksesibilitas, amenitas pariwisatanya, dan seterusnya.

Dampak lanjutan sebuah destinasi yang sudah berstandar internasional akan menjadi salah satu sasaran investasi karena disitu masyarakatnya sudah terdidik, paham menjaga lingkungan hidup, sudah tersentuh dengan berbagai program capacity building baik itu soft skills/ soft knowledge maupun yang infrastruktur fisik dan concern memperhatikan aspek keberlanjutan. Wisatawan pun akan bisa me-relate kalau tiba-tiba ada orang “ngomong” sebuah tema destinasi wisata yang berstandar internasional, dia akan berkomentar “ohh seperti di sini.. ohh seperti di sana”. Ini adalah beberapa pertimbangan pentingnya mempunyai international branding yang harus didorong, didukung dan disokong oleh pemangku kepentingan kepariwisataan.***

Halaman:

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x