Literasi dan Nalar Entrepreneur

- 26 Mei 2022, 08:00 WIB
Foto penulis./dok. pribadi
Foto penulis./dok. pribadi /

GALAMEDIA - Pada 23 April 2022 masyarakat internasionl memperingati Hari Buku Sedunia. Buku sebagai Jendela Dunia, mungkin sudah terkalahkan oleh internet sebagai pemasok informasi.

Buku sudah mulai diabaikan. Orang tidak lagi membaca buku sebagai media literasi. Konten yang banyak dibaca adalah kuasi informasi yang bias, antara salah atau benar. Big Data (mahadata) menjadi andalan kesombongan berwacana di media sosial.

Metaverse, meskipun product knowledge-nya masih setipis khayalan virtual, sudah didewakan sebagai andalan masa depan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi melalui avatar.

Fenomena ini memunculkan penyakit “kena mental’ di kalangan milenial. Mereka mewacanakan sesuatu secara verbal maupun non verbal, lisan maupun tulisan, tapi tanpa literasi pengetahuan yang kuat. Mendasar pun tidak.

Baca Juga: Literasi Digital Diharapkan Jadi Daya Bangkit di Tengah Pandemi Covid-19

Internet telah mendisrupsi fungsi buku, tapi nilai buku tidak terkalahkan. Semangat untuk menerbitkan buku tetap tinggi meskipun menghadapi tantangan berat di masa post-truth.
International Publisher Association (IPA) mencatatkan produksi buku dunia Tahun 2013 menunjukan Cina memproduksi buku tertinggi (440.000), kemudian Amerika Serikat (304.912), Inggris (184.000), Rusia (101.981), Jerman (93.600), Jepang (77.910), Spanyol (76.434), Prancis (66.527), Italia (61.100), Turki (42.626), Taiwan (42.118), Korea (39.767), dan Indonesia (30.000).

Meskipun di posisi terbawah dari 12 besar, penerbitan buku di Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), pada 2012 Indonesia hanya mampu memproduksi 12.000 baik buku baru maupun buku edisi baru.

Saat masyarakat dunia memasuki era post-truth (pascakebenaran), kalangan pebisnis banyak menjalani profesinya berdasarkan pada ilusi pribadi. Hal ini terjadi akibat masifnya intervensi teknologi informasi dalam pengambilan keputusan bisnis.

Internet of things menjadikan informasi yang berlintasan di internet membentuk opini, emosi, perasaan, dan keyakinan seseorang menjadi subjektif. Fenomena pos-truth menjadikan iklim sosial tidak lagi objektif dan rasional, bahkan orang cenderung menolak informasi yang faktual karena bertentangan dengan keyakinannya.

Halaman:

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x