Oleh : Mega Nugraha Sukarna, Praktisi Hukum dan Media
SEJARAH mencatat, partisipasi pemilih pada Pilpres 2019 paling tinggi sepanjang republik ini berdiri. Pada Pilpres 2019, data KPU mencatat, partisipasi pemilih mencapai 81,97 persen.
Kenaikan itu menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Setidaknya, sejak Pilpres 2004, yang saat itu partisipasi pemilihnya tercatat sebanyak 79,76 persen. Lalu pada 2009 74,81 persen, pada 2014 menurun jadi 69 persen dan di Pilpres 2019 81,97 persen.
Fenomena itu tidak lepas dari faktor perkembangan teknologi informasi yang meniscayakan disrupsi informasi. Era 2010 hingga 2020, Indonesia berada di fase disrupsi informasi dimana setiap narasi gagasan menggema dalam setiap lini massa media sosial.
Pada Pilpres 2019, hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hadirnya dua pasangan calon itu melahirkan perdebatan panjang tentang masing-masing calon.
Saking sengitnya, narasi publik di ruang media sosial terpecah dalam dua isu besar; 'cebong' dan 'kampret'. 'Cebong' bagi pendukung Joko Widodo dan 'Kampret' bagi pendukung Prabowo Subianto.
Geliat aktivitas demokrasi digital kala Pilpres 2019 itu sayangnya melahirkan sisi kelam keterbukaan informasi. Bagaimana tidak, narasi disinformasi, hoaks, ujaran kebencian hingga persekusi berseliweran di setiap lini massa berbagai platform media sosial, baik Facebook, Twitter, Instagram hingga WhatsApp.
Jokowi dan KH Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dipersepsikan dengan berbagai citra negatif di media sosial. Jika melihat data, fenomena yang terjadi pada Pilpres 2019 itu tidak lepas dari pertumbuhan teknologi Informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia yang sedang tinggi.