Sidang Habib Rizieq : Bongkar Operasi Intelijen Berskala Besar, Pemerintah Harus Tanggung Jawab

- 26 Maret 2021, 15:58 WIB
Habib Rizieq berada di ruang sidang PN Jakarta Timur.
Habib Rizieq berada di ruang sidang PN Jakarta Timur. /Pikiran Rakyat/Aziz Yanuar/ Muhammad Rizky Pradilla/


GALAMEDIA - Mantan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) didakwa melakukan penghasutan sehingga menimbulkan kerumunan di Petamburan yang dianggap melanggar aturan mengenai pandemi virus Corona (COVID-19).

Dalam eksepsinya, tim pengacara HRS mengungkapkan adanya kriminalisasi terhadap HRS tidak lepas dari bagian operasi intelijen berskala besar.

Mulanya tim pengacara HRS menyinggung soal gerakan 212 yang fenomenal karena disorot nasional hingga internasional.

Seiring hal itu, HRS dan gerakannya dituduh macam-macam dengan stigma anti-Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti-NKRI.

"Habib Rizieq Shihab dikriminalisasi dan gerakannya coba dipadamkan dengan berbagai cara agar para antek 'Aseng' dan asing tetap nyaman menjajah dan menjarah harta kekayaan NKRI," ujar tim pengacara HRS membacakan eksepsinya dalam sidang di PN Jaktim, Jakarta Timur, Jumat, 19 Maret 2021.

Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Tampol Amien Rais: Pabrik Omong Kosong yang Tak Berkualitas

"Bagi pribumi Indonesia yang sadar akan hal ini, gerakan 212 telah membangkitkan semangat pribumi untuk memerdekakan kembali negeri ini untuk yang kedua kalinya setelah melihat aset-aset strategis NKRI telah jatuh kembali ke tangan para VOC baru yang direpresentasikan oleh kaum oligarki dan rezim zalim," lanjutnya.

Pada eksepsinya itu, tim pengacara HRS pun membongkar upaya kriminalisasi terhadap kliennya itu merupakan bagian dari operasi intelijen berskala besar.

"Bila dilihat dari apa yang diperjuangkan oleh Habib Rizieq Shihab dan kawan-kawan, sebagaimana yang dialami oleh Proklamator Ir Sukarno seperti riwayat yang kami kutipkan di atas, jelas bahwa kriminalisasi Habib Rizieq Shihab dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari operasi intelijen berskala besar (OIBB)," sebut tim pengacara HRS.

Baca Juga: Geram! Said Didu Kritik Sri Mulyani dan Pemerintah Soal Utang Indonesia hingga Pemindahan Ibu Kota

Operasi intelijen berskala besar ini terdiri dari :

1. Operasi black propaganda terhadap HRS dan FPI;

2. Operasi Kontra narasi terhadap HRS dan FPI;

3. Operasi pencegahan kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Saudi walau gagal mencegah HSR pulang tapi berhasil menghambat dan mengganggu kepulangan sehingga membutuhkan waktu 3,5 tahun baru HRS bisa pulang;

4. Operasi penggalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama di berbagai provinsi untuk menolak keberadaan Habib Rizieq Shihab dan FPI;

5. Operasi konyol penurunan baliho di berbagai tempat oleh aparat yang bukan tupoksinya;

Baca Juga: Kasus Korupsi Bansos Covid-19, KPK Resmi Memanggil Cita Citata Sebagai Saksi

6. Operasi konyol mengerahkan komando operasi khusus hanya sekadar untuk membunyikan sirene di Petamburan;

7. Operasi pembantaian pengawal HRS; dan

8. Operasi surveillance dan penjejakan terhadap HRS sehari 24 jam, seminggu 7 hari, sebulan 30 hari, setahun 365 hari.

Tim pengacara HRS menilai perkara HRS adalah politik dan merupakan bentuk lanjutan dari operasi intelijen berskala besar.

Tim pengacara HRS pun menilai proses persidangan tersebut tidak sesuai dengan locus dan delicti peristiwa tindak pidana.

Baca Juga: Mabes Polri Beberkan Soal Kematian Terlapor Unlawful Killing Terhadap 4 Laskar FPI

"Bukti paling nyata bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari operasi intelijen berskala besar adalah persidangan tidak dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana."

"Yaitu, persidangan tidak dilakukan pada locus delicti peristiwa yang didakwakan, pasal-pasal yang didakwakan mengarah pada pasal-pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan Pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal-pasal selundupan lainnya, persidangan dilakukan melalui sidang elektronik, padahal tidak ada satu pun UU yang membolehkan," ujarnya.

"Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya, penambahan pasal-pasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman dan pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar Habib Rizieq Shihab bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki," ungkap tim pengacara Rizieq.

Tim kuasa hukum Habib Rizieq juga meminta kasusnya dibatalkan karena sudah membayar Rp 50 juta denda pelanggaran PSBB.

Baca Juga: Pemerintah Akhirnya Putuskan Larang Mudik Lebaran Tahun Ini Selama 12 Hari

"Perlu kami sampaikan bahwa, Habib Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam (FPI) telah membayar sanksi denda administratif sebesar Rp 50.000.000 di kantor Sekretariat LPI, Petamburan, Jakarta Pusat, pada Minggu, 15 November 2020," kata tim pengacara Habib Rizieq.

Tim kuasa hukum Habib Rizieq menilai denda administratif tersebut dikenakan karena FPI dan HRS dianggap telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan COVID-19 sehingga menimbulkan kerumunan.

Hal tersebut tertuang dan diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 79 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pengacara Habib Rizieq mengatakan mestinya kedatangan HRS dari luar negeri merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.

"Perlu kita ketahui bersama, pada hari kedatangan Habib Rizieq, secara yuridis merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah," kata tim pengacara.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 4 juncto Pasal 1 Angka 1UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yaitu:

"Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan."

"Kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat."

"Pemerintah dengan segala kelengkapan yang dimiliki seharusnya sudah mengetahui dan menyiapkan antisipasi terhadap banyaknya warga negara yang datang bukan dengan menyiapkan penerapan pasal-pasal pidana," kata tim pengacara HRS.

Baca Juga: Sinetron Ikatan Cinta Disebut-sebut akan Segera Berakhir, RCTI Perkenalkan Sinetron Terbaru, Netizen Protes!

Tim pengacara Habib Rizieq menilai dalam UU Kekarantinaan Kesehatan mendahulukan pencegahan, bukan hukuman.

"Karena roh dari kekarantinaan kesehatan adalah pencegahan, bukan punishment. Kedua peristiwa itu dapat dikatakan kegagalan dalam pengelolaan administrasi negara dan kekarantinaan kesehatan atau justru merupakan 'conflict engineering'," sambungnya.

"Maka sanksi denda administratif yang dijatuhkan terhadap Habib Rizieq Shihab telah sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga terhadap Habib Rizieq Shihab tidak dapat lagi dilakukan proses hukum (nebis in idem) sesuai dengan ketentuan Pasal 76 KUHP," ujarnya.

Tim kuasa hukum Habib Rizieq menilai semestinya proses hukum peradilan lebih mengutamakan restorative justice.

Restorative justice merupakan konsep yang didasarkan pada tujuan hukum sebagai upaya dalam menyelesaikan konflik dengan perdamaian.

"Oleh karenanya, sudah sepatutnya proses perkara dalam peristiwa Maulid dan pernikahan anak beliau di Petamburan harus dinyatakan batal demi hukum," tandasnya.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x