Kisah Hidup RA Kartini, Pejuang Emansipasi Wanita: Jadi Istri Keempat dan Awal Perjuangan

- 20 April 2021, 13:47 WIB
Kartini//titkduanet.com
Kartini//titkduanet.com /

GALAMEDIA - Raden Ajeng Kartini adalah sosok penting bagi seluruh wanita di Indonesia. Sosoknya memperjuangkan emansipasi  wanita di negeri ini.

Tanggal 21 April yang merupakan hari kelahirannya diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasa-jasanya dalam kesetaraan gender.

Namun sudahkah kamu benar-benar mengenal dengan baik sosok  RA Kartini?

Baca Juga: 5 Negara yang Kemerdekannya Tak Diakui Dunia, Nomor 2 Dicap Sebagai Negara Sukses!

Kali ini, yuk kita bahas lebih banyak tentang  Kartini seperti yang dirangkum Galamedia dari berbagai sumber.

Raden Adjeng Kartini Djojo Adhiningrat adalah nama lengkap dari RA Kartini. Ia dilahirkan di tengah keluarga bangsawan. Ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang menjabat sebagai Bupati Jepara.
 
Ibunya M.A. Ngasirah bukan berasal dari keturunan bangsawan tetapi beliau anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Jepara.

kartini-dan-suami//akarnews.com
kartini-dan-suami//akarnews.com

Baca Juga: Pemerintah Kabupaten Ciamis Deklarasikan Open Defecation Free atau Buang Air Besar Sembarangan

Silsilah keluarga Kartini dari garis ayah masih merupakan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Bahkan jika ditelusuri ke atas merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit.

Ayah Kartini pada mulanya seorang Wedana (sekarang Pembantu Bupati) di Mayong. Dan peraturan kolonial Belanda pada saat itu  mengharuskan seorang Bupati  menikah dengan bangsawan juga.

Akhirnya ayah Kartini mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura.

Baca Juga: Bocoran Buku Harian Seorang Istri 20 April 2021: Dewa dalam Bahaya! Kejahatan Toni Merajalela
 
Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi Bupati di Jepara menggantikan ayah dari R.A. Woerjan, yaitu Titrowikromo.

Sebagai seorang bangsawan, Kartini berhak memperoleh pendidikan. Ayahnya yang menjadi seorang Bupati, kemudian menyekolahkan Kartini di Europese Lagere School (ELS).

Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Tapi karena kebiasaan  dan tradisi  kala itu membuat    anak perempuan harus tinggal di rumah untuk dipingit, maka Kartini hanya bersekolah hanya sampai usia 12 tahun.

Baca Juga: Persib vs Persija Kontra Ikatan CInta, Siapa yang Bakal Meraih Rating Tertinggi?

Sejarah perjuangan Kartini pun bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda.

Salah satunya Rosa Abendanon yang selalu mendukungnya. Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang  kemajuan berpikir perempuan Eropa.
 
Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang amat rendah.

Baca Juga: Viral! Seorang Wanita Jadi Korban Pencurian Identitas, Kini Dapat Somasi Penunggakan Kartu Kredit

Kartini pada saat itu, banyak membaca surat kabar atau majalah-majalan kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda.
 
Di usianya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus seperti   De Stille Kraacht, juga karya Van Eeden, Augusta de Witt dan berbagai roman beraliran feminis yang semuanya berbahasa Belanda.

Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Baca Juga: Gurih dan Lezat! Resep Khas Jepara Ayam Besengek Favorit RA Kartini

Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan ke salah satu majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
 
Melalui surat-surat yang ia kirimkan, jelas terlihat bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil. Tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.
 
Buku-buku bertulisan Belanda tersebut membuat pikirannya semakin maju. Ketertarikannya dalam membaca membuatnya memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahun dan kebudayaan.

Baca Juga: Hidayat Nur Wahid: Masalah Baru Lagi dari Kemendikbud, Segera Revisi Kamus Sejarah Indonesia
 
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Pada tanggal 12 November 1903, orangtuanya menikahkan  Kartini dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang saat itu  telah memiliki tiga istri.
 
Suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkannya membangun sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang, tepatnya  sebuah bangunan yang kini menjadi Gedung Pramuka.

Halaman:

Editor: Mia Fahrani

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x