Masih dalam ayat yang sama, Alquran menjelaskan bahwa ada pengecualian-pengecualian dalam pelaksanaan ibadah puasa. Orang orang yang sedang sakit atau musafir tidak diwajibkan berpuasa pada waktu tersebut tetapi wajib menggantinya pada hari-hari yang lain. Pengecualian berikutnya diberikan kepada orang-orang yang sama sekali tidak sanggup berpuasa tetapi dialihkan dalam bentuk lain yang disebut dengan fidyah.
Di dalam Q.S. al-Baqarah ayat 184 ini digambarkan tentang karakteristik hukum Allah SWT pada puasa yang memuat motivasi dan pengecualian pengecualian. Maksudnya, hukum Allah SWT digambarkan di dalam ayat ini tidak bersifat pemaksaan tetapi lebih mengarah kepada kesadaran. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan bahwa “puasa itu lebih baik jika kamu mengetahui”.
Adapun pada ayat berikutnya (Q.S. al-Baqarah ayat 185) dijelaskan tentang prinsip hukum Allah SWT yaitu ingin memudahkan manusia dan tidak untuk mempersulit. Hal ini dapat dilihat dari pengulangan dispensasi untuk orang-orang yang sakit dan musafir. Pengulangan ini mengindikasikan bahwa hukum Allah SWT bersifat mengatur manusia bukan memaksa.
Jika pada ayat 183 dan 184 belum dijelaskan tentang waktu berpuasa maka pada ayat ini (Q.S. al-Baqarah ayat 185) dijelaskan bahwa puasa dilakukan pada bulan Ramadan. Mengingat bahwa ibadah puasa termasuk ke dalam kategori “berat” maka tidak sepantasnya jika kewajiban tersebut langsung diterapkan. Pola yang seperti ini menunjukkan bahwa untuk memberlakukan suatu ketetapan hendaklah dilakukan sosialisasi terlebih dahulu.
Ketika ayat sebelumnya menjelaskan tentang karakteristik hukum Allah SWT maka pada ayat berikutnya (Q.S. al-Baqarah ayat 186) dijelaskan pula tentang hubungan manusia dengan Allah SWT . Ketika ayat ini dimasukkan ke dalam paket ayat-ayat puasa maka dapat dipahami bahwa salah satu tujuan dari ibadah puasa adalah membangun kedekatan manusia dengan Allah SWT . Di dalam ayat ini manusia diposisikan sebagai “hamba atau budak” yang terus-menerus memiliki ketergantungan kepada Allah SWT sebagai “majikan”. Untuk mendapatkan prediket “hamba atau budak” ini maka puasa adalah jalan yang terbaik ditawarkan oleh ayat ini karena hakikat dari puasa adalah menetralisir hawa nafsu. Urgensi melakukan penetralisiran ini karena hawa nafsu selalu membuat manusia tercerabut dari akarakar kemanusiaannya.