Menteri Keuangan Sri Mulyani Terkaget-kaget, Kasus Suap Tinggi Meski Gaji dan Tunjangan PNS Besar

- 10 Desember 2020, 12:20 WIB
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati. /Instagram/@smindrawati./



GALAMEDIA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkaget melihat hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang menunjukkan 30 persen masyarakat masih membayar untuk mendapatkan pelayanan publik.

Soalnya, ia menilai gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) saat ini sudah cukup besar.

Ia mengatakan, hal itu mengindikasikan gaji dan tunjangan besar tidak serta merta membuat birokrasi menjadi bersih dari praktik suap.

"Kita tahu persis, pemerintah pusat, daerah, lembaga, semua sudah meningkatkan tunjangan kinerja," ujarnya dalam webinar Hari Anti Korupsi Sedunia, Kamis 10 Desember 2020.

Meski begitu, ia mengakui survei TII Indonesia masih lebih baik ketimbang India yang sebesar 39 persen dan Kamboja 37 persen. Namun tentunya ia meminta semua pihak untuk tak cepat puas.

Baca Juga: Mahfud MD, 'Jangan Sampai Ada Korban Sipil, Agar Masyarakat Tak Takut kepada Aparat'

Soalnya hasil survei TII tersebut menunjukkan masih ada yang salah dari strategi pemerintah dalam memperbaiki birokrasi.

Terkait hal itu, Menkeu mengatakan ke depannya persepsi publik perlu jadi salah satu indikator untuk menilai kualitas layanan pemerintahan.

"Beberapa tahun terakhir sudah digiatkan membangun wilayah birokrasi bersih dan melayani, wilayah birokrasi bebas korupsi. Namun, kalau 30 persen masyarakat kita masih mengaku mereka harus membayar untuk pelayanan itu adalah indikator yang perlu kita lihat lagi," imbuhnya.

Seperti diketahui, Survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh TII menempatkan RI pada posisi ketiga dari 17 negara Asia terkait tingkat suap layanan publik.

Baca Juga: Diduga Korupsi, Ketua Perhimpunan Asosiasi Kebijakan dan Hak Asasi Manusia Papua Ditahan

Tingkat suap di Indonesia tercatat yang tertinggi ketiga di antara 17 negara Asia yang disurvei atau tidak turun signifikan dari hasil GCB 2017.

Berdasarkan survei yang dilakukan, sebanyak tiga dari 10 responden mengaku pernah membayar suap ketika mengakses layanan publik.

Ditemukan sejumlah alasan responden melakukan suap, antara lain sebagai tanda terima kasih, memang diminta untuk membayar biaya yang tak resmi dan, ditawari agar membayar suap demi proses yang lebih cepat.

"Lebih dari 90 persen mengakui tidak pernah melaporkan praktik suap yang dialaminya," ucap TII dikutip dari laporan hasil survei tersebut.

Baca Juga: Dibully, Dihina, dan Dicaci Maki, Ustadz Abdul Somad: Lama-lama Saya Bisa Jadi Fir'aun

TII juga mengungkapkan mayoritas warga berusia muda mengaku pernah melakukan suap dalam satu tahun terakhir. Pengalaman suap masyarakat paling tinggi terjadi di layanan Kepolisian (41 persen), jauh di atas rata-rata negara di Asia (23 persen).

Suap di layanan kepolisian tahun ini meningkat dibandingkan data GCB 2017 dengan persentase 25 persen. Selain di kepolisian, pengalaman suap untuk layanan di Sekolah dan Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) juga naik dibandingkan GCB 2017.

Sementara untuk Dukcapil, GCB 2020 mencatat angka 31 persen atau lebih tinggi dibanding GCB 2017 yakni 23 persen. Adapun GCB 2020 untuk Sekolah sebesar 22 persen dan GCB 2017 sebesar 15 persen.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x