GALAMEDIA - Selain perang dan pandemi, jumlah sperma yang turun menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia di masa depan. Demikian peringatan seorang ahli epidemiologi terkemuka.
Shanna Swan mengatakan krisis kesuburan akan menjadi ancaman global terbesar dalam setidaknya 30 tahun mendatang. Demikian dipaparkan dalam buku barunya yang provokatif, Count Down: How Our Modern World Is Threatening Sperm Counts.
Dikutip Galamedia dari DailyMail, Senin (1 Maret 2021) turunnya jumlah sperma bisa menjadi ancaman sebesar krisis iklim, ungkap Swan, ahli epidemiologi lingkungan dan reproduksi Icahn School of Medicine, Mount Sinai, New York.
Baca Juga: Dapatkan Bansos Maret 2021 di dtks.kemensos.go.id, Simak Cara Daftar DTKS
Sebelumnya tahun 2017, Shawn juga mengungkapkan jumlah sperma di seluruh dunia telah turun lebih dari setengahnya selama empat dekade terakhir.
Dan menurutnya penurunan masih akan berlanjut dalam beberapa dekade mendatang.
Saat ini hanya sekitar 1,9 persen dari semua bayi yang lahir di Amerika merupakan hasil teknologi reproduksi buatan. Namun tahun 2050 semua akan berubah.
Swan memperkirakan saat itu, sebagian besar orang di seluruh dunia tidak akan bisa hamil tanpa bantuan teknologi akibat penurunan jumlah sperma di seluruh dunia.
Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 1 Maret 2021 Elsa Bebas, Al dan Andin Malam Pertama
Ada banyak penyebab ketidaksuburan, tetapi Swan menyebut bahan kimia rumah tangga ftalat atau pthalates sebagai penyebab utama.
Phthalates ada dalam segala jenis produk. Di antara fungsinya adalah membuat plastik menjadi lentur, memungkinkan kulit menyerap lotion dan membantu menyempurnakan kemasan makanan seperti plastik elastis dan plastik kedap udara.
Tapi pthalates merembes dari kemasan ke dalam makanan hingga memasuki tubuh dan berdampak bahaya karena mengganggu sistem endokrin yang mengontrol hormon, termasuk testosteron.
Baca Juga: Buka pln.co.id, Untuk Bantuan Token Listrik Gratis Terakhir di Maret 2021
Swan dan banyak ilmuwan lain percaya hal tersebut menjadi pendorong utama penurunan jumlah sperma. Studi tahun 2017 menunjukkan penurunan mengejutkan dalam jumlah sperma terutama pria di nagara Barat.
Pria yang memiliki jumlah sperma di bawah 15 juta per ml atau 39 juta per ejakulasi berisiko menjadi tidak subur. Demikian fakta Mayo Clinic, meskipun bentuk dan motilitas - atau pergerakan - sperma juga penting.
Satu dari tujuh pasangan di AS juga diperkirakan tidak subur. Sedangkan secara individu, sekitar sembilan persen pria diperkirakan sudah tidak subur pada 2018, demikian perkiraan terbaru CDC. Jumlah itu jauh lebih banyak dari penelitian Swan tahun 2017.
Baca Juga: Sama-sama Isolasi Mandiri Akibat Covid-19, Bocah 11 Tahun Temukan Ayah Ibunya Telah Jadi Mayat di Tempat Tidur
Swan menemukan jumlah sperma di antara pria Barat turun hampir 60 persen antara tahun 1973 dan 2011. Rata-rata, jumlah sperma menurun sedikit lebih dari satu persen setiap tahun.
Dengan tingkat penurunan tersebut, persentase pria yang tidak subur saat ini sekitar 12 persen. Dan jika tren berlanjut, tahun 2050 41 persen pria di dunia akan mandul.
Sebagai gambaran jika warga dunia saat ini tujuh miliar maka dalam perkiraan Swan tak kurang dari 287 miliar penduduk Bumi harus menjalani prosedur bayi tabung.
Dengan jumlah sperma dan kualitas yang menurun, sebagian besar populasi akan terpaksa menggunakan teknologi reproduksi berasistensi (ART).
Baca Juga: Bentuk Kepedulian pada Korban Banjir Pamanukan, PT Brantas Abipraya - Bina Nusa Lestari Salurkan Bantuan
“Jadi dengan penurunan jumlah sperma dan kualitas air mani, termasuk penurunan kesuburan dan fakta bahwa jika jumlah sperma pria benar-benar rendah, maka satu-satunya pilihan adalah menggunakan teknologi alat bantu reproduksi jika ingin memiliki keturunan,” papar Swan.
Penelitiannya menunjukkan penurunan jumlah sperma telah terjadi sejak tahun 1973, tapi terkait skala cakupannya tak terdokumentasi dengan baik.
Yang pasti phthalates mulai ditemukan pada 1920-an dan mulai tersedia secara komersial pada 1931.
Baca Juga: DP KPR Rumah 0 Persen Berlaku Mulai 1 Maret hingga 31 Desember 2021, Simak Syarat dan Ketentuannya