Afghanistan di Ambang Kehancuran, Didera Lapar Warga Tukar Bayi dengan Tepung dan Minyak

- 1 November 2021, 14:46 WIB
Olah foto kolase BBC DailyMail
Olah foto kolase BBC DailyMail /

GALAMEDIA - Putus asa didera lapar, sejumlah keluarga Afghanistan menjual buah hati mereka demi sejumlah uang yang akan menyelamatkan anak-anak mereka lainnya dengan membeli tepung dan minyak.

Kehadiran Taliban mengakhiri dana asing yang menopang ekonomi negara yang telah lama rapuh dan kini di ambang kehancuran tersebut.

Kepada wartawan BBC Yogita Limaye, seorang ibu mengaku menjual bayi perempuannya seharga $500 atau Rp Rp 7 juta demi memastikan persediaan makanan bagi keluarganya.

Baca Juga: Aksinya Viral di Medsos, Pencuri Kotak Amal Ini Akhirnya Dijebloskan ke Sel Tahanan

Pembelinya seorang pria yang mengaku sedang mencari calon menantu. Dia membayar $250 atau Rp 3,5 juta di muka. Uang tersebut cukup untuk persediaan makanan selama beberapa bulan.

Saat ini si bayi masih belum diambil. Ia akan dijemput pembeli setelah mulai bisa berjalan. Sesuai perjanjian, pembeli akan membayarkan uang sisa pembelian saat calon istri anak laki-lakinya itu sudah tak lagi harus digendong.

"Anak-anakku yang lain sekarat karena lapar, jadi kami terpaksa melepas putri kami," ungkap sang ibu yang kini dilanda kegalauan pada BBC.

“Bagaimana aku tak bersedih? Dia anakku juga. Aku berharap kami tidak harus menjual putri kami,” tuturnya.

Baca Juga: Polda Jabar Bidik Tersangka Baru Kasus Pinjol Ilegal Asal Sleman

Afghanistan, negara miskin yang hancur akibat konflik selama puluhan tahun dan korupsi yang merajalela, sangat bergantung pada bantuan luar negeri.

Di bawah pemerintah yang didukung Barat sekalipun sekitar 40 persen PDB-nya merupakan dana bantuan.

Pandemi Covid, kekeringan serta keruntuhan pemerintah dalam semalam disusul pengambilalihan oleh Taliban, secara dramatis kian memperburuk situasi. Tiga bulan kekuasaan Taliban, Afghanistan saat ini di ambang kehancuran ekonomi.

Baca Juga: Spoiler Buku Harian Seorang Istri 1 November 2021: Dewa Membaik, Nana Ikut Pulang ke Rumah Buwana

Sebagai gambaran, nilai mata uang terjun bebas saat harga pangan meroket sementara bantuan berhenti total. Akibatnya tak ada uang untuk membayar para pekerja dan bisnis pun tutup.

Warga yang kekurangan dipaksa bertahan hidup dengan menjual semua barang yang masih bernilai hingga akhirnya darah daging sendiri pun ikut “ditawarkan” untuk sekadar meredakan lapar.

Ayah bayi yang tak disebutkan namanya biasa mencari nafkah sebagai pengepul  sampah. Tapi sekarang perjuangannya mendapatkan uang alakadarnya seakan menemui jalan buntu.

“Keluargaku kelaparan. Saat ini kami tak punya tepung, minyak pun tak ada. Kami tak punya apa pun. Putriku sungguh tak berdosa. Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat dia tahu apa yang telah kami lakukan padanya. Tapi aku harus melakukannya,” paparnya.

Baca Juga: Heboh Stafsus Menkeu Salah Sebut Tuan Rumah KTT G20 2021, Aktivis Hingga Politisi Lempar Hujatan

Pernikahan di usia belia telah menjadi praktik selama berabad-abad di Afghanistan, tapi situasi ekonomi yang mengerikan mendorong banyak keluarga melakukan kesepakatan lebih awal.

Orangtua anak laki-laki saat ini dapat memaksakan tawar-menawar yang menempatkan pihak keluarga perempuan dalam dilema. Mereka berlomba “mengamankan” anak perempuan dengan usia kian belia karena  harga yang bisa ditekan.

World Food Program  (WFP/Program Pangan Dunia) memperingatkan lebih dari setengah populasi Afghanistan, sekitar 22,8 juta jiwa, berisiko kekurangan gizi akut dan terancam kematian dalam beberapa bulan mendatang dengan satu juta anak berisiko meninggal tanpa penanganan apa pun.

Baca Juga: 9 Jenis Kue Tradisional Khas Indonesia dari Beras Ketan, Legitnya Bikin Nagih!

Miliaran dana akan dibutuhkan guna mencegah skenario terburuk, kata WFP. Uang tunai yang sedianya didistribusikan untuk keperluan pembangunan kini ditahan pemerintah terdahulu yang khawatir sumbangan akan dijarah Taliban.

Sementara itu, Save the Children memperingatkan buruknya kondisi keluarga miskin Afghanistan. Mereka akan menjual apa saja demi membeli makanan, termasuk merelakan anak-anak bekerja atau terpaksa bertahan hidup dengan roti saja.

Seakan menjadi bukti parahnya situasi Agfhanistan, delapan anak dilaporkan mati kelaparan di ibu kota Kabul minggu ini.

Baca Juga: Tuntutan Jaksa KPK Dinilai Penuh 'Skenario', Terdakwa Kasus Bansos Covid Totoh Gunawan Minta Dibebaskan

Mohammad Ali Bamiyani, imam masjid terdekat kepada wartawan mengatakan sebelum ditemukan tak bernyawa anak-anak itu sudah yatim piatu.

Ayah mereka meninggal karena kanker beberapa bulan lalu, menyusul sang ibu yang mengembuskan napas terakhir akibat penyakit jantung.

“Kedelapan anak itu meninggal karena kelaparan. Mereka sangat lapar hingga meregangkan kaki pun tak sanggup,” ujarnya.

WFP memperingatkan tingkat kemiskinan yang dulu terbatas hanya di daerah perdesaan Afghanistan kini mulai menjalari kota-kota besar, yang semuanya terancam kekurangan pangan musim dingin ini.

Baca Juga: Berubah Lagi! Naik Pesawat Kini Tak Wajib Tes PCR, Cukup dengan Antigen

“Pengangguran yang merajalela dan krisis likuiditas berarti bahwa semua pusat kota besar diproyeksikan menghadapi kerawanan pangan, termasuk mereka yang sebelumnya masuk populasi kelas menengah,” ungkap laporan awal pekan ini.

Sementara itu, musim dingin yang ganas mengancam wilayah perdesaan di mana 7,3 juta jiwa bergantung pada bantuan pangan setelah lahan pertanian dilanda kekeringan hebat.

WFP memperingatkan dana sekitar $ 220 juta atau Rp 3,1 triliun per bulan diperlukan guna  memastikan tak ada satu pun rakyat Afghanistan yang kelaparan dan $ 211 juta atau Rp 29 triliun lainnya dibutuhkan untuk membantu daerah perdesaan yang dicengkeram kekeringan.

Baca Juga: Naik Mobil dan Motor Wajib PCR, Ferdinand Hutahaean: Jangan Salah Gunakan Kewenangan

Kurangnya bantuan asing juga berdampak bahaya pada sistem perawatan kesehatan. Staf medis bekerja tanpa gaji dan tidak ada dana untuk membeli perlengkapan medis.

Seorang ibu yang anak kembarnya dirawat di RS Médecins Sans Frontires Herat mengatakan kepada Limaye, “Dua anakku saat ini menghadapi kematian karena kami tidak punya uang.”

"Aku ingin dunia membantu rakyat Afghanistan. Aku tak ingin ada ibu lain melihat anak-anak mereka menderita seperti ini.”

Para pemimpin dunia sebenarnya telah menjanjikan $ 1 miliar atau Rp 14 triliun bantuan. Namun hingga kini mereka masih berjuang mencari cara bagaimana memastikan aliran dana tersebut masuk ke Afghanistan tanpa dijarah Taliban.

Halaman:

Editor: Mia Fahrani

Sumber: dailymail


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x