Cek Fakta: Kutukan atau Bukan Semua Legenda Barcelona Hengkang dengan Drama dan Kontroversi

- 4 September 2020, 11:31 WIB
Penyerang Barcelona, Lionel Messi. Satu di antara dua gol Lionel Messi ke gawang Real Betis telah menghapuskan kutukan 91 hari.  Laga Barcelona vs Real Betis tersaji di Stadion Camp Nou pada Sabtu, 7 November 2020.
Penyerang Barcelona, Lionel Messi. Satu di antara dua gol Lionel Messi ke gawang Real Betis telah menghapuskan kutukan 91 hari. Laga Barcelona vs Real Betis tersaji di Stadion Camp Nou pada Sabtu, 7 November 2020. /instagram.com/fcbarcelona/

GALAMEDIA - Tak diragukan, keputusan Lionel Messi membeberkan niatnya untuk hengkang pada Barcelona mengguncang klub yang menaunginya selama hampir dua dekade tersebut.

Pengaruh Messi yang begitu kuat telah mencapai titik di mana suaranya setara ‘penguasa  Nou Camp’. Bahkan bisa jadi lebih berpengaruh dari  presiden klub Josep Maria Bartomeu yang salah satu tugas utamanya setiap musim adalah memastikan sang bintang tetap bertahan.

Tapi gonjang-ganjing kepergian bintang Barca bukan hanya milik Messi. Para senior La Pulga yang berlabel bintang sudah lebih dulu meninggalkan Nou Camp di tengah kontroverasi yang bisa jadi lebih sensasional ketimbang Messi yang pergi karena kecewa dengan kondisi klub.

Siapa saja mereka dan sekontroversial apa kepergian mereka? Berikut kompilasi Galamedia dari DailyMail via SportMail, belum lama ini:

Rivaldo

Musim 1999, Rivaldo diakui sebagai pemain terbaik dunia. Dengan label penyerang berbahaya Barcelona, pesepak bola Brasil tersebut meraih trofi Ballon d'Or. Seperti  Messi, ia tak ragu mengungkapkan keinginan ataupun pendapat.

Termasuk mendatangi pelatih kala itu, Louis van Gaal, sosok yang dianggap arogan dan keras kepala. Rivaldo menggugat pelatih berpaspor Belanda tersebut karena dianggap tak menempatkannya di posisi terbaik.

Ronaldo yang merasa tampil maksimal di belakang Patrick Kluivert mempertanyakan keputusan Van Gaal yang menempatkannya di sayap kiri. Bukannya mengakomodasi, Van Gaal yang merasa diintervensi membangkucadangkan Rivalso.

Media Spanyol sendiri berpihak pada Rivaldo yang akhirnya kembali diturunkan. Tak itu saja, Van Gaal bahkan meninggalkan posnya.

Merasa menjadi korban media, Van Gaal meninggalkan konferensi pers terakhirnya dengan sindiran, “Friends of the press, I am leaving. Congratulations!”

Tiga tahun berikutnya tanpa diduga Van Gaal kembali ditunjuk untuk menukangi Barcelona d musim 2002. Memiliki posisi lebih kuat, hal pertama yang dilakukannya adalah melepas Rivaldo yang masih memiliki sisa kontrak satu musim.

Meski berkontribusi pada keberhasilan Tim Samba meraih Piala Dunia, Van Gaal yang dituding membalas dendam bergeming. Rivaldo sendiri tak menyembunyikan drama di balik akhir kariernya di klub Katalan.

“Van Gaal alasan utama kepergianku. Aku tidak suka dia dan aku yakin dia pun tidak menyukaiku,” ungkapnya lugas. Sementara itu Van Gaal menyebut Rivaldo terpaksa dilepas karena tak memiliki komitmen yang cukup.

Bergabung dengan klub elite Liga Serie A Italia, AC Milan, Rivaldo melakukan revans dengan membantu Milan memenangi trofi Liga Champions. Bagaimana dengan Van Gaal? Comeback-nya kembali berakhir dengan pemecatan pada musim 2002-2003.

Diego Maradona

Seperti Messi, Maradona dianggap sebagai jenius lapangan hijau. Saking jeniusnya ia kerap memukau para koleganya. Lobo Carrasco mengungkap bagaimana piawainya Maradona mengolah si kulit bundar membuat skuad El Barca terpana.

“Aku ingat salah satu sesi latihan dengannya. Kami para pemain begitu terpukau melihatnya memainkan bola sampai kami semua akhirnya hanya berdiri di sisi lapangan dan menonton aksinya. Kami merasa kami beruntung dapat menyaksikan kejeniusannya.”

Laga Barcelona dengan Maradona bak dokumentasi sepak bola mingguan berkelas. Juni 1983 menjadi bukti betapa kejeniusan Si Tangan Tuhan melewati sekat fanatisme.

Bayangkan saja, pemain bengal Barca itu sampai mendapat aplaus dari Madridista di kandang El Real, Santiago Bernabeu.

Aksi Maradona menaklukkan kiper Madrid, Agustin setelah lebih dulu lolos dari defender Juan Jose bukannya membuat Madridista muntab, melainkan mengakui skill berkelasnya.

Meski demikian di luar lapangan, Maradona sosok yang dikelilingi chaos akibat pembawaannya yang tak jarang lepas kontrol. Sesuatu yang membuat Barca dilanda dilema untuk tetap mempertahankannya.

Akhir kiprah Maradona di Barcelona pada akhir musim 1983-84 terbilang mengejutkan. Diawali dengan penampilannya di laga final Copa del Rey kontra Athletic Bilbao.

Kala itu sejumlah suporter lawan menyasarnya dengan rasisme. Mereka meneriakkan ejekan pada ayah sang bintang yang berasal dari Amerika Utara.

Tak itu saja, di lapangan Maradona juga menjadi sasaran lawan yang mencoba menghentikannya dengan segala cara. Pertama tekel Goikoetxea dan adu mulut dengan Miguel Sola usai laga yang berujung kekalahan 0-1 bagi Barca.

Provokasi Sola mendapat ‘tanggapan maksimal’ dari Maradona yang kemudian menanduknya hingga memicu keributan di lapangan. Ricuh ini disaksikan 100 ribu penonton di stadion termasuk Raja Spanyol Juan Carlos. 

Halaman:

Editor: Mia Fahrani

Sumber: Daily Mail


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x