Klaim Mampu Ubah Timor Leste Jadi Dubai Kedua, Bukti Ramos Horta Penuh Omong Kosong

- 26 September 2020, 07:15 WIB
Ramos Horta. (Foto: Getty Images)
Ramos Horta. (Foto: Getty Images) /

GALAMEDIA - Berbicara di acara Pekan Masyarakat Sipil Internasional di ibu kota Fiji, Suva, Jose Ramos Horta, yang menjabat sebagai perdana menteri 2006-2007 dan presiden dari 2007-2012 Timor Leste mengklaim negaranya mampu mengatasi berbagai rintangan ekonomi.

Padahal saat itu ada laporan bahwa ladang minyak dan gas utama Timor Leste akan mengering pada 2022 dan akan bangkrut pada 2027.

“Timor Leste baru berusia 15 tahun. Jika Anda melihat seperti apa negara saya pada awal abad ini, Anda akan terkejut,” Ramos Horta mengatakan kepada Al Jazeera.

“Pada 2002, kami memiliki 19 dokter Timor Leste di negara itu,” kata pria berusia 70 tahun ini.

"Pada 2017 kami memiliki hampir 1.000."

“Kami hampir tidak memiliki listrik di mana pun di negara ini, termasuk ibu kota, Dili. Saat ini, kami memiliki listrik berkelanjutan di 80 persen negara. 20 persen sisanya menggunakan metode alternatif seperti tenaga surya,” ujarnya.

Baca Juga: Najwa Shihab Disebut Luhut Pandjaitan Memprovokasi, Ini Jawaban Telak yang Membuatnya Tak Berkutik

Ramos Horta, yang juga dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1996 karena melobi para pemimpin asing untuk mendesak Indonesia menarik pasukannya, mengatakan bahwa pemerintahnya memiliki rencana terkait menipisnya cadangan minyak dan gas.

Tak hanya itu, Ramos Horta menyebut masa depan ekonomi negaranya tidak lagi bergantung pada simpanan minyak di lepas pantai.

“Tidak seperti banyak negara penghasil minyak dan gas lainnya, kami segera menciptakan dana kekayaan kedaulatan. Kami mulai dengan £ 250 juta dan sekarang kami memiliki lebih dari $ 16 miliar di bank."

“Saat itu, undang-undang menyebutkan 90 persen dari pendapatan minyak dan gas akan digunakan untuk membeli obligasi negara Amerika Serikat. Sepuluh persen, bisa kita gunakan untuk diversifikasi. Karena kami tidak memiliki banyak pengalaman di pasar internasional, kami memutuskan untuk menginvestasikan semuanya pada obligasi negara Amerika Serikat."

Baca Juga: Soal Potensi Tsunami 20 Meter, BMKG Beberkan Penjelasannya
“Ketika krisis keuangan 2008 melanda, negara-negara dengan kedudukan internasional yang lebih kuat seperti Singapura dan Norwegia, kehilangan puluhan miliar. Timor Leste tidak kehilangan satu sen pun," kata dia.

Ramos Horta sendiri pernah berbicara kepada media pada tahun 2008. Kala itu, politisi yang mengenyam pendidikan di Amerika Serikat itu menyindir Timor Leste bisa menjadi Dubai berikutnya.

Tetapi ketegangan telah membara dalam demokrasi yang baru lahir karena ketidaksetaraan pendapatan dan pengangguran yang tinggi.

Menurut angka terbaru pemerintah dari tahun 2014, 41,8 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan $ 1,52 per hari.

Pemerintah saat ini, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mari Alkatiri, juga menghadapi tekanan yang meningkat untuk menciptakan pekerjaan baru dengan 60 persen penduduknya berusia di bawah 25 tahun.

Baca Juga: Ramos Horta Sebut BUMN Indonesia Bunuh Sektor Swasta Timor Leste , KBRI Dili Geregetan

“Kami mengubah undang-undang kami pada tahun 2009 untuk memungkinkan perubahan yang lebih besar pada portofolio ekonomi kami. Kami sekarang memiliki lebih dari 1.000 investasi di seluruh dunia,” kata Ramos Horta.

“Kami memiliki ratusan orang yang belajar untuk jenjang master mereka di luar negeri. Pada saat yang sama, kami berinvestasi dengan bijak. Kami hidup dari investasi ini."


Saat saya mengatakan Dubai, saya sedang melamun. Lupakan Dubai. Saya akan senang jika Timor Leste bisa mencapai ketinggian di Fiji,” lanjut Ramos Horta.

“Kami bisa melakukan jauh lebih baik,” klaim dia.

“Tapi kita tidak bisa melakukan keajaiban,” lanjutnya seperti dikutip galamedia dari zonajakarta.com dengan judul Sesumbar Negaranya Bisa Jadi Dubai ke-2, Ramos Horta: Timor Leste Tidak Kehilangan Satu Sen Pun!..

Tiga tahun berlalu sejak Ramos Horta banggakan mimpinya jadikan Timor Leste sebagai Dubai kedua, kini bekas Provinsi ke 27 Indonesia itu justru masuk dalam jurang kemiskinan.

PBB bahkan sampai memasukan Timor Leste dalam daftar Indeks Kemiskinan Multidimensi Global (MPI) 2020. Timor Leste berada pada urutan ke-152 dari 162 negara termiskin di dunia.

Survey MPI 2020 pun menunjukkan bahwa Timor Leste memiliki nilai kemiskinan sebanyak 0,210 atau 45,8 persen.

Berdasarkan survey tahunan pada 2019, terdapat 559.000 orang yang berada di bawah kemiskinan atau 45,7 persen.

Baca Juga: Timnas Indonesia U-19 vs Bosnia: Lawan 10 Pemain, Garuda Muda Tetap Tak Berdaya

Jumlah tersebut lebih banyak dibanding tahun 2018 yakni sebanyak 581.000 orang.

Populasi yang termasuk parah mengalami kondisi kemiskinan di Timor Leste terdapat 16,3 persen menurut survey MPI 2020. Jauh sebelum daftar ini dikeluarkan oleh PBB, Timor Leste sudah lebih dulu diprediksi bakal bangkrut.

Timor Leste yang merupakan negara termuda di Asia Tenggara ini sangat bergantung pada sektor energinya yang menyusut, yang menyumbang 78 persen dari anggaran negara 2017.

Ladang minyak dan gas utama negara itu, proyek Bayu-Undan yang dioperasikan oleh ConocoPhillips, menyediakan sekitar $ 20 miliar untuk dana minyak bumi selama 10 tahun terakhir, tetapi diperkirakan akan berhenti berproduksi pada tahun 2022.

Para peneliti di lembaga pemikir yang berbasis di Dili, La'o Hamutuk mengatakan kecuali sumber pendapatan baru ditemukan, negara itu bisa bangkrut pada awal 2027.

La'o Hamutuk memperingatkan parlemen Timor Leste tahun lalu bahwa anggaran 2017 sebesar $ 1,39 miliar akan memerlukan penarikan lebih dari $ 1 miliar dari dana minyak bumi.

Dengan rencana pemerintah untuk mengambil hampir empat kali lipat perkiraan pendapatan setiap tahun antara 2018 dan 2021, saldo dana akan turun setidaknya $ 3 miliar, menjadi $ 13 miliar.

Baca Juga: [Update] Kasus Covid-19 Hari Ini Pecahkan Rekor Lagi, Pasien Positif Mencapai 266.845 Orang

Lembaga pemikir tersebut mendesak pemerintah untuk menilai kembali beberapa mega proyek, mempertanyakan manfaatnya bagi mayoritas rakyat Timor Leste.

“Proyek-proyek ini akan menggusur masyarakat lokal, menggunakan lahan pertanian yang berharga, menghancurkan mata pencaharian petani dan mencemari lingkungan. Sementara itu, uang yang dihabiskan di dalamnya berasal dari jumlah yang terbatas, dan tidak lagi tersedia untuk proyek yang diperlukan, pembangunan ekonomi berkelanjutan, proyek yang adil, dan layanan sosial untuk semua orang,” katanya.

Selain minyak, pertanian merupakan komponen utama perekonomian, menyediakan kebutuhan pokok bagi sekitar 80 persen penduduk.

Ekspor komoditas yang paling signifikan adalah kopi, yang menyumbang $ 30 juta dari ekspor tahunan pada tahun 2016. (penulis: Lusi Nafisa)***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x