Soal Alat Prediksi Gempa UGM, BMKG Sebut Ibarat Tes Covid-19 dengan Mengukur Suhu

- 28 September 2020, 10:06 WIB
Ilustrasi Gempa Bumi.
Ilustrasi Gempa Bumi. /Pixabay.com

GALAMEDIA - Baru-baru ini peneliti Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta merilis tentang hasil pengembangan sistem pendeteksi gempa yang mampu memprediksi tiga hari sebelum gempa.

BMKG pun langsung mengeluarkan respons terkait penemuan tersebut.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono mengungkapkan bahwa memprediksi gempa dengan cara mengukur konsentrasi gas daron dan level air tanah ibarat tes Covid-19 dengan mengukur suhu.

Padahal seperti diketahui, sama halnya Covid-19 yang punya gejala kompleks, begitu pula dengan terjadinya gempa. Menurutnya banyak parameter yang perlu dilakukan perihal prediksi terjadinya gempa.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono*/Tangkapan layar YouTube/Daryono Bmkg
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono*/Tangkapan layar YouTube/Daryono Bmkg


Daryono menyatakan BMKG sudah melakukan semua pengukuran dengan alat-alat yang termasuk mumpuni sejak 2010 di stasiunnya di Yogyakarta. Tetapi hasil yang didapat belum konsisten.

"Sebaiknya terintegrasi dengan magnet bumi, TEC, suhu air tanah, tilt meter, strain meter pada tempat sama. Yang lengkap alatnya saja belum konsisten hasilnya, kita belum berani publis," kata dia lewat kicauannya di Twitter dikutip Senin, 28 September 2020.

Sebelumnya tim peneliti dari UGM mengaku tengah mengembangkan sistem pendeteksi gempa yang mampu memprediksi satu sampai tiga hari sebelum terjadi gempa.

"Early warning system (EWS) gempa alogaritma yang kami kembangkan bisa tahu satu sampai tiga hari sebelum gempa. Jika gempa besar di atas 6 SR sekitar dua minggu sebelumnya alat ini sudah mulai memberikan peringatan," kata Ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Prof. Ir. Sunarno melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Ahad 27 September 2020.

Baca Juga: Konflik Tertua di Dunia Tewaskan 23 Orang, Pertempuran Armenia-Azerbaijan Kian Sengit

Sunarno menjelaskan sistem peringatan dini gempa yang dikembangkannya bersama tim bekerja berdasarkan perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah yang merupakan anomali alam sebelum terjadinya gempa bumi.

Menurut dia, apabila akan terjadi gempa di lempengan, akan muncul fenomena paparan gas radon alam dari tanah meningkat secara signifikan. Permukaan air tanah juga naik turun secara signifikan.

"Dua informasi ini dideteksi oleh alat EWS dan akan segera mengirim informasi ke handphone saya dan tim. Selama ini informasi sudah bisa didapat 2 atau 3 hari sebelum terjadi gempa di antara Aceh hingga NTT," kata dia.

Sistem yang dikembangkan terdiri dari alat EWS yang tersusun dari sejumlah komponen seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data, sumber daya listrik. Lalu, memanfaatkan teknologi internet of thing (IoT) di dalamnya.

Baca Juga: Demi Kejar Kepentingan di LCS, Amerika Serikat Siap Ambil Risiko Perang Nuklir dengan China

Pada 2018, Sunarno dan tim telah meneliti konsentrasi gas radon dan level air tanah sebelum terjadinya gempa bumi. Pengamatan yang telah dilakukan kemudian dikembangkan sehingga dirumuskan dalam suatu algoritma prediksi sistem peringatan dini gempa bumi.

Sistem ini terbukti telah mampu memprediksi terjadinya gempa bumi di Barat Bengkulu M5,2 28 Agustus 2020, Barat Daya Sumur-Banten M5,3 26 Agustus 2020, Barat Daya Bengkulu M5,1 29 Agustus 2020, Barat Daya Sinabang Aceh M5,0 1 September 2020, Barat Daya Pacitan M5,1 10 September 2020, Tenggara Naganraya-Aceh M5,4 14 September 2020, dan lainnya.

Ia mengatakan sistem peringatan dini gempa ini telah digunakan untuk memprediksi gempa. Ada 5 stasiun pantau/EWS yang tersebar di DIY yang dalam setiap 5 detik mengirim data ke server melalui IoT.

"Lima stasiun EWS ini masih di sekitar DIY. Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT kita dapat memperkirakan secara lebih baik, yakni dapat memprediksi lokasi lebih tepat atau fokus," kata dia.

Baca Juga: Najwa Shihab Ditampar Luhut Pandjaitan, Serangan Balik Membuat Sang Menteri Tak Berkutik

Sunarno menyebutkan sistem deteksi tersebut dikembangkan sebagai mekanisme membentuk kesiapsiagaan masyarakat, aparat, dan akademisi untuk mengurangi risiko bencana. Sebab, posisi Indonesia yang berada di 3 lempeng tektonik dunia menjadikannya rentan terjadi gempa bumi.

Seperti diketahui sepanjang 2019 telah terjadi 11.473 gempa bumi dimana aktivitas gempa bumi signifikan dengan magnitudo diatas 5,0 terjadi sebanyak 344 kali.

Sedangkan gempa kecil dengan kekuatan kurang dari magnitudo 5,0 terjadi sebanyak 11.229. Gempa-gempa tersebut tak hanya menyebabkan ratusan korban luka, tetapi juga merusak ribuan bangunan tempat tinggal dan fasilitas umum.

Dia mengatakan bahwa sistem peringatan dini gempa bumi ini akan terus dikembangkan hingga mampu memprediksi waktu terjadinya gempa secara tepat, lokasi koordinat episentrum gempa hingga magnitudo gempa.

Ia berharap pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi ini dapat membantu aparat dan masyarakat dalam melakukan evaluasi penyelamatan penduduk lebih cepat.

Selain itu, menurut dia, alat itu juga bisa menjadi rekomendasi sistem instrumentasi untuk peringatan dini gempa bumi dan memberikan pengetahuan bagi masyarakat mengenai prediksi gempa bumi sehingga selalu siap dan waspada terhadap bencana gempa bumi.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x