Dua Kapolda Lulusan Akpol 91 Tak Izinkan Acara KAMI, Direktur INFUS: Polisi Harusnya Netral

- 29 September 2020, 11:19 WIB
Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. /ANTARA/Zuhdiar Laeis /

GALAMEDIA - Penolakan acara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) berujung pengusiran mantan Panglima TNI Jendera (purn) Gatot Nurmantyo menyisakan keprihatinan sejumlah pihak. Terlebih, aparat keamanan justru 'terlibat' pengusiran tersebut.

Keprihartinan tersebut diantara datang dari Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) Gde Siriana. Ia pun memprotes tindakan kepolisian di Jawa Timur dan NTB yang membubarkan deklarasi KAMI.

Gde bahkan membeberkan dua pimpinan Polda yang menolak adanya deklarasi KAMI merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1991.

“Mestinya Kapolda Jatim & NTB bisa jelaskn knp deklarasi KAMI tdk bs di Sby & Mataram, sdgkan kota lain meski ada aksi pnolakan ttp bs jalan. Ini soal prinsip2 dmokrasi. Aplg bpk2 Kapolda sm2 lulusan 91,” katanya di akun Twitternya, dikutip Selasa 29 September 2020.

Baca Juga: Gatot Nurmantyo Diusir di Surabaya, Refli Harun: Demo Itu Digerakkan oleh Unsur Negara, Berat!!!

Deklarator KAMI itu juga meminta kepolisian netral dan menjungjun hak demorkasi setiap warga negara.

“Juga pak Kapolres Sby mantan ajudan Pres Jokowi. Mestinya Sby kondusif demokrasi,” lanjutnya.

Direktur Eksekutif INFUS Gde Siriana.
Direktur Eksekutif INFUS Gde Siriana.

Gde Siriana Yusuf menilai penolakan dan pembubaran tersebut merupakan tanda bahwa KAMI memang benar-benar membuat penguasa atau rezim Jokowi saat ini takut dan panik.

Baca Juga: Tak Hadiri Mata Najwa Hingga Jadi Bulan-bulanan Publik, Menteri Kesehatan Terawan Bawa-bawa Tuhan

“Deklarasi KAMI di Surabaya dibubarkan oleh KITA pertanda KAMI membuat penguasa makin takut dan panik,” ujar deklarator KAMI itu di akun Twitter, @SirianaGde.

Menurut Gde Siriana, penolakan KAMI tersebut juga semakin membuat nama Gatot Nurmantyo dan KAMI semakin melambung.

Gde pun meminta kepada pihak kepolisian untuk berpihak netral untuk mengamankan deklarasi KAMI di dalam gedung dan mengamankan aksi yang menentang KAMI di luar gedung.

“Sangat tidak rasional jika deklarasi KAMI dianggap inkonstitusional. Apakah Covid-19 memakan sebagian otak mereka hingga tidak bisa berfikir jernih tentang KAMI? Atau ketakutan bahwa KAMI akan jadi gelombang besar kesadaran nasional untuk selamatkan Indonesia?” jelas anggota Komite Politik dan Pemerintahan KAMI itu.

Baca Juga: Militer China Latihan Besar-besaran di Empat Wilayah Perairan, Amerika Serikat Perkuat Pasifik

Gde Siriana curiga adanya kekuatan besar yang membuat mantan panglima TNI bisa terusir hanya dengan sedikit massa aksi dari KITA.

“Dengan massa se-upil KITA bisa mengusir Gatot Nurmantyo dari dalam gedung deklarasi. Jelas ada kekuatan besar yang membackup operasi mengamputasi KAMI. Dalam sejarah RI, tidak ada mantan pangab yang dianggap musuh penguasa. Ini pertanda KAMI dianggap berbahaya bagi keberlangsungan rezim,” kata Gde.

“Polisi semestinya berpihak netral, mngamankan deklarasi KAMI di dlm gedung, dan mengamankan aksi yg menentang KAMI di luar gedung. Tapi eniwei rasa takut, panik & pesan2 intimidasi kpd KAMI ini justru melambungkan nama Gatot Nurmantyo & KAMI,” sambungnya.

Baca Juga: Heboh Tsunami Setinggi 20 meter, 10 Ibu Kota Provinsi di Indonesia Berpotensi Tersapu

Gde juga merasa aneh karena banyak hal nyata yang tidak sinkron dari pembubaran deklarasi KAMI di Surabaya. Karena bukan hanya beralasan tidak ada izin dan melanggar protokol Covid-19, namun juga terdapat narasi penolakan keberadaan KAMI di Surabaya.

“Tapi ujungnya kok ada statement menolak keberadaan KAMI di Surabaya. Selain itu dalam acara pesertanya terbatas dan semua bermasker. Bandingkan dengan keramaian Pilkada Surabaya,” pungkasnya.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x