"Kalau hutan pengganti itu aturannya begini, dicarikan dan dibebaskan lahannya oleh Pemda kemudian diserahkan dan dikelola oleh Perhutani. Nah perusahaan yang pakai lahan hutan itu dia yang membayarnya. Itu lahannya bisa dicarikan oleh Pemda, misalnya tanah carik desa dan lain sebagainya. Tapi lahan pengganti ini juga harus diketahui dan diumumkan pada masyarakat, bahwa lahan tersebut sekarang adalah hutan pengganti milik Perhutani," ujarnya.
Dedi melanjutkan, lahan hutan pengganti ini harus segera dipenuhi oleh PT Geo Dipa Energy. Jangan sampai diabaikan dan merugikan negara, karena luasan hutannya yang tak hanya rusak tapi juga hilang.
Baca Juga: Teh Nia Akan Perhatikan Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan Kaum Disabilitas
Seperti kejadian di daerah Majalengka dan Indramayu di zaman Presiden Soeharto. Yakni pembukaan lahan hutan seluas kurang lebih 12 ribu hektar untuk perkebunan gula oleh sebuah perusahan. Namun hingga saat ini lahan hutan penggantinya hanya sekitar 3000 hektar saja.
"Jangan kayak gitu dong, kan hutan pengganti itu harus dipenuhi oleh perusahan. Kalau dia BUMN penggantinya satu kali lipat dari luas hutan yang dia pakai, nah kalau swasta dia harus ganti dua kali lipatnya," terangnya.
Baca Juga: Kawaludin : Netralitas ASN Pada Pilkada Bandung Masih Kondusif
Dedi melanjutkan, meskipun eksplorasi panas bumi oleh PT Geo Dipa Energy ini merupakan salah satu proyek strategis nasional untuk memenuhi kebutuhan listrik. Namun sebaiknya tetap dilaksanakan sesuai fungsi serta tidak mengabaikan aturan.***