Titel

- 28 Maret 2021, 15:00 WIB
Diana Francess Spencer/Olah foto kolase GI-DailyMail
Diana Francess Spencer/Olah foto kolase GI-DailyMail /

KEKUATAN STORY TELLING PARIWISATA
Oleh: Yudhi Koesworodjati

Seringkali kita dikagetkan saat mendapat informasi banyak destinasi wisata yang unik namun kita belum pernah tahu keberadaannya. Kita terhenyak. Ohh ada ya? Di mana? Dan seterusnya. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana menghidupkan destinasi-destinasi tersebut? Salah satu yang penting adalah bagaimana menjadikan destinasi tersebut sebagai sebuah story yang kita campaign. Kemudian kita share ke banyak institusi terkait yang punya hubungan dengan target wisatawan yang akan kita tuju.
Ingat cerita danau Lochness? Suatu rekayasa teknologi fotografi yang dibumbui dongeng, dapat mendorong jutaan wisatawan dunia untuk datang berbondong-bondong ke sana. Monster Lochness merupakan satu mitos tertua dan paling abadi di Skotlandia dan menjadi ikon pariwisata utama bahkan menginspirasi penulisan buku, acara TV, film, di sekitar danau tempat monster tersebut konon tinggal. Kisahnya menggelinding dan menjadi viral meskipun banyak studi yang menegaskan keberadaan monster ini adalah fiktif. Wisatawan tahu cerita danau Lochness itu tidak terbukti kebenarannya, tapi begitu ke sana, wisatawan tidak kecewa, karena memang danaunya bersih, lingkungannya bagus. Intinya terpenuhi harapan "rasa ingin tahu" wisatawan yang berkunjung. Narasi yang mengedukasi dalam story telling terbukti menjadi cara yang mampu membangun rasa penasaran dan menggoda orang untuk mengunjunginya.
Mengapa misalnya; Talagawarna, Situ Bagendit, Situ Cileunca, Situ Patengan, dan lainnya tidak direkayasa dengan hikayat, dongeng, cerita yang dipromosikan gencar secara menarik dan global? Dan disertai dengan penataan lingkungannya yang baik seperti danau Lochness. Bukankah yang ingin dikunjungi oleh wisatawan adalah yang unik? Bila itu terjadi, maka kita sudah membuat ‘honeypot’ atau kantung madu untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Cerita yang lain saya peroleh dari seorang kerabat tentang tournya di luar kota Torino. Diperjalanan ke Venesia (tol yang membosankan), ada bukit yang dari kejauhan tampak ada bangunan kecil (karena jauhnya) dengan atap merah mencolok. Bis melambat, lantas tourleader cerita panjang lebar tentang bangunan itu adalah makam pendiri Kota Torino. Kerabat saya tersebut menyampaikan bahwa hal yang luar biasanya adalah kepiawaian sang tourleader menyampaikan ceritanya dengan menarik, berkomunikasi dengan humanis, plus tanya jawab yang dijawab lancar dan jelas. Narasi story telling yang dihidupkan tourleader di atas terbukti mampu menjadi kunci kesuksesan aktivitas pariwisata dan penambah pengalaman berwisata.
Dari dua cerita di atas, nampak bahwa destinasi wisata yang belum banyak diketahui banyak orang terlebih dahulu perlu kita pilih, yang memang memiliki value yang besar bagi produk destinasi, mempunyai pembeda/ khas, sejak awal perjalanan sampai tiba di lokasi. Jangan sampai nanti malah "tourism destroy tourism", karena nila setitik rusak susu sebelanga. Kita perlu fokus agar benar-benar menjadi succes story dan kemudian dikembangkan di beberapa wilayah dengan memperhatikan nilai kelokalannya. Faktor alam beserta semua sumberdayanya yang tersedia menjadi produk rahasia yang perlu digali secara cermat.
Yang kedua, kunci kesuksesan dari menghidupkan narasi dalam aktivitas pariwisata ini tidak lepas dari kemampuan tourleader menyesuaikan arus psikologi pengunjung dengan aktivitas penceritaan narasi tersebut. Kemampuan memadukan dua kekuatan persona branding, yaitu faktor manusia dan faktor alam dalam bentuk narasi imaginer sangat menentukan. Tourleader harus menjadi informant leader yang komprehensif. Dia harus mampu menggali rahasia yang sulit diketahui orang lain, mesti outstanding, pandai merangkai kata, sehingga yang kecil saja jadi sangat menarik. Bukan hanya goodlooking tampan dan cantik, tetapi juga nicelooking. Tourleader harus memperluas cakrawalanya, dan betul-betul sadar, dia adalah frontliner, wakil warga kota dan first impression buat wisatawan.
Bukan tourleader yang textbook, yang tidak mencari cari tahu behind the scene apa yang ingin disampaikannya, terlebih lagi bukan orang yang menjadikan tourleader hanya sebagai profesi cari nafkah, cari fee dari resto/ cafe, toko cenderamata/ cinderarasa, dan lain-lain. Jika ini yang terjadi maka dia juga bisa jadi penyebab utama tourism destroy tourism. Tetapi tourleader yang mampu menggali rahasia sebagai misteri yang mustahil diketahui orang lain menjadi produk wisata yang menstimulus motivasi pengunjung untuk mendatanginya dengan pengorbanan ekonomi yang optimal.

Story yang menciptakan kesan atau energi positif yang menyentuh hati ini selanjutnya bisa di campaign oleh perusahaan biro perjalanan yang melakukan inbound/ memasukan wisatawan, sehingga biro perjalanannya bersemangat dan berlomba melakukan promosi produk agar wisatawan datang ke destinasi wisata tersebut, sementara pemerintah secara sinergis melakukan promosi destinasi.
(Yudhi Koesworodjati, Dosen Tetap Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan dan pemerhati pariwisata).

 

 

Editor: Mia Fahrani

Sumber: Berbagai sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x