Berkurban Wajib atau Sunnah? Berikut ini Penjelasan Detailnya yang Wajib Diketahui

23 Juni 2022, 06:46 WIB
Kurban Wajib atau Sunnah? Berikut ini Penjelasan Detailnya yang Wajib Diketahui /Tangkapan layar Youtube Cerita Iqbal

GALAMEDIA - Tahukah anda jika hukum asal berkurban adalah sunnah kifayah (kolektif).

Artinya bila dalam satu keluarga sudah ada yang mengerjakan, sudah cukup menggugurkan tuntutan bagi anggota keluarga yang lain.

Bila tidak ada satu pun dari mereka yang melaksanakan, maka semua yang mampu dari mereka terkena imbas hukum makruh.

Dikutip Galamedia dari laman nu.or.id, kurban bisa berubah menjadi wajib bila terdapat nazar, misalnya ada orang bernazar kalau lulus sekolah atau dikaruniai anak, ia akan berkurban dengan seekor sapi.

Baca Juga: Harga Tiket dan Jadwal Film My Sassy Girl di Bioskop CGV dan Cinepolis Tangerang, Tangsel, Serang 23 Juni 2022

Saat cita-cita yang diharapkan tercapai, maka wajib baginya untuk mengeluarkan hewan kurban yang ia nazarkan. Dalam kondisi demikian, hukum berkurban baginya adalah wajib.

Secara umum kurban sunnah dan kurban wajib memiliki beberapa titik kesamaan, misalnya dari segi waktu pelaksanaan, keduanya dilaksanakan pada hari Nahar dan hari-hari tasyriq (10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

Bila dilakukan di luar waktu tersebut, maka tidak sah sebagai kurban. Tata cara menyembelih mulai dari syarat, rukun dan kesunnahan juga tidak berbeda antara dua jenis kurban tersebut.

Keduanya menjadi berbeda dalam empat hal sebagai berikut: Pertama, hak mengonsumsi daging bagi mudlahhi (pelaksana kurban).

Baca Juga: Harga Tiket dan Jadwal Film Keluarga Cemara 2 di Bioskop CGV dan Cinepolis Bandung, Bekasi, Depok 23 Juni 2022

Dalam kurban sunnah, diperbolehkan bagi mudlahhi untuk memakannya, bahkan nazar sebagian kecil dagingnya dan memakan sendiri selebihnya. Adapun yang lebih utama adalah memakan beberapa suap saja untuk mengambil keberkahan dan menyedekahkan sisanya (lihat: Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).

Sedangkan kurban wajib, mudlahhi haram memakannya, sedikit pun tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi secara pribadi. Keharaman memakan daging kurban wajib juga berlaku untuk segenap orang yang wajib ditanggung nafkahnya oleh mudlahhi, seperti anak, istri, dan lain sebagainya.

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar menegaskan:

“Orang berkurban dan orang yang wajib ia nafkahi tidak boleh memakan sedikitpun dari kurban yang dinazari, baik secara hakikat atau hukumnya”. (Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim, hal. 531).

Baca Juga: Jadwal Nonton Keluarga Cemara 2, Kamis 23 Juni 2022 di CGV Bandung Lengkap dengan harganya

Kedua, kadar yang wajib disedekahkan. Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal yang wajib disedekahkan dalam kurban sunnah adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu kantong palstik daging.

Tidak mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/miskin, meski hanya satu orang.

Selebihnya dari itu, mudlahhi diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi. Kadar minimal yang wajib disedekahkan tersebut wajib diberikan dalam kondisi mentah, tidak mencukupi dalam kondisi masak (lihat: Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).

Sedangkan kurban wajib, semuanya harus disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali, tidak diperkenankan bagi mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk memakannya.

Baca Juga: RANS Nusantara FC Hajar Persija Jakarta Hingga Babak Belur di Laga Grup B Piala Presiden 2022

Demikian pula tidak diperkenankan diberikan kepada orang kaya. Daging yang diberikan juga disyaratkan harus mentah (lihat: Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi, Hasyiyah Ibni Qasim ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 363).

Ketiga, pihak yang berhak menerima. Seperti yang telah disinggung tadi, kurban wajib hanya berhak diterima fakir/miskin, mudlahhi dan orang kaya tidak berhak menerimanya.

Semuanya meliputi daging, kulit, tanduk dan Sebagainya wajib disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali. Bila ada bagian kurban yang distribusinya tidak tepat sasaran, maka wajib mengganti rugi untuk fakir/miskin.

Dalam kitab Hasyiyah I’anah al-Thalibin disebutkan: 

“Bila seseorang bernazar berkurban dengan hewan yang cacat atau masih kecil atau ia mengatakan; aku menjadikannya sebagai hewan kurban; maka wajib disembelih dan tidak mencukupi sebagai kurban, meski waktu penyembelihannya khusus pada waktu kurban dan berlaku ketentuan kurban wajib dalam hal tasaruf (pemanfaatan).

Haram memakan dari kurban atau hadyu yang wajib disebabkan nazar.

Baca Juga: Sadio Mane Resmi Berseragam Bayern Muenchen Hingga Tiga Tahun ke Depan

“Ucapan Syekh Zainuddin; dalam hal tasaruf; maka wajib mengalokasikan keseluruhannya untuk fakir/miskin seperti kurban wajib. Ucapan Syekh Zainuddin; dan haram memakan; maksudnya haram memakan hewan kurban dan hadyu yang dinazari.

Maka wajib bagi orang yang berkurban mensedekahkan semuanya, hingga tanduk dan kikilnya. Bila mudlahhi memakan satu bagian darinya, maka wajib mengganti rugi kepada orang fakir” (Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz 2, hal. 378).

Sementara untuk kurban sunnah, boleh diberikan kepada orang kaya dan fakir/miskin. Hanya saja, terdapat perbedaan hak orang kaya dan miskin atas daging kurban yang diterimanya.

Kurban yang diterima fakir/miskin bersifat tamlik, yaitu memberi hak kepemilikan secara penuh. Kurban yang ia terima boleh dijual, dihibahkan, disedekahkan, dimakan dan lain sebagainya.

Baca Juga: Jadi Amirul Hajj Jabar, Ridwan Kamil Pimpin 17.000 Jemaah Haji

Sedangkan hak orang kaya atas daging kurban yang diterimanya hanya untuk tasaruf yang bersifat konsumtif. Orang kaya hanya boleh memakan dan memberikannya kepada orang lain hanya untuk dimakan, semisal disuguhkan kepada para tamu.

Mereka tidak diperbolehkan menjual, menghibahkan, dan tasaruf sejenis yang memberikan kepemilikan utuh terhadap pihak yang diberi.

Adapun pengertian orang kaya dalam bab ini adalah setiap orang yang haram menerima zakat, yaitu orang yang memiliki harta atau usaha yang mencukupi kebutuhan sehari-hari, baik untuk dirinya atau keluarga yang wajib ia nafkahi.

Sedangkan fakir/miskin sebaliknya, yaitu orang yang aset harta atau usahanya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, baik untuk diri sendiri atau keluarga yang wajib dinafkahi (lihat: Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz 2, hal. 379).

Keempat, niat. Kurban sunnah dan wajib diperbolehkan untuk disembelih sendiri oleh mudlahhi, boleh pula diwakilkan kepada orang lain. Kedunya sama-sama disyaratkan niat.

Niat bisa dilakukan saat menyembelih atau ketika memisahkan hewan yang ingin dibuat kurban dengan hewan lainnya. Niat berkurban boleh dilakukan sendiri atau diwakilkan kepada orang lain.

Baca Juga: Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi Jalani Pemeriksaan Selama 12 Jam Soal Ekspor CPO

Adapun perbedaannya terkait dengan lafal niatnya. Contoh niat kurban sunnah yang diniati sendiri: “Aku niat berkurban sunnah untuk diriku karena Allah.”

Contoh niat kurban sunnah yang dilakukan oleh wakilnya mudlahhi: “Aku niat berkurban sunnah untuk Zaid (orang yang memasrahkan kepadaku) karena Allah”.

Contoh niat kurban wajib yang diniati sendiri oleh mudlahhi: “Aku niat berkurban wajib untuk diriku karena Allah” 

“Aku niat berkurban sunnah untuk Zaid (orang yang memasrahkan kepadaku) karena Allah”.

Perbedaan yang lain adalah dalam kasus kurban nazar yang telah ditentukan hewannya, misalnya ada orang sambil menunjuk hewan tertentu yang dimilikinya berkata “Aku bernazar berkurban dengan kambingku yang ini”.

Dalam kasus ini, kambing yang ia tunjuk sebagai kurban nazar sudah keluar dari miliknya. Oleh sebab itu tidak dibutuhkan niat berkurban dalam pelaksanaan kurban kambing tersebut.

Jadi dalam kasus tertentu, terkadang kurban wajib tidak disyaratkan niat, sedangkan kurban sunnah disyaratkan niat secara mutlak (lihat: Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafis, Dar al-Minhaj, hal. 827).

Demikian empat perbedaan kurban wajib dan sunnah, semoga bermanfaat. ***

Editor: Brilliant Awal

Tags

Terkini

Terpopuler