Ambiguitas Jaksa dalam 'Serat Jayengbaya' di Film Tari 'Being a Prosecutor'

- 21 Juni 2020, 20:02 WIB
 Salah seorang penari yang ikut memperkuat film tari
Salah seorang penari yang ikut memperkuat film tari

"Dadi Jeksa bae becik,
tukang ngadili prakara,
nganggo pangkat oleh kajen,
yen ana wong duwe sabab,
saben dina reruba,
barang tukon toko katur,
trekadhang awujud arta".

TEMBANG Jawa Dandanggula tersebut, merupakan petikan salah satu pupuh atau bait tembang karya pujangga Keraton Surakarta, RNg. Ronggowarsito. Karya sastra berupa tembang berjudul "Serat Jayengbaya" itu, terjemahan bebasnya adalah, "Lebih baik menjadi Jaksa, tukang mengadili perkara, punya pangkat dan disegani orang, jika ada orang berperkara, setiap hari bisa mendapat untung, berupa pemberian yang dibeli di toko, terkadang berupa uang."

Dalam "Serat Jayengbaya" yang terdiri dari puluhan pupuh, Sang Pujangga menggambarkan  kebimbangan seseorang dalam memilih pekerjaan. Pada pupuh 66 digambarkan, seseorang tersebut mempertimbangkan pilihan menjadi jaksa. Namun seseorang yang dilukiskan selalu diliputi kebimbangan itu, akhirnya juga tidak memilih pekerjaan sebagai jaksa.

Penggambaran kebimbangan seseorang dalam pupuh tembang "Serat Jayengbaya" itu, mengilhami dosen program studi (Prodi) Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr. Deny Tri Ardianto, S.Sn., Dipl. Art, untuk memvisualisasikan dalam sebuah film tari berjudul "Being a Prosecutor". Dr. Deny mengadaptasikan pupuh tembang "Dadi Jeksa" yang dia anggap fenomenal, dalam sebuah dance film atau film tari yang bercerita tentang keambiguan profesi jaksa.

Dr. Deny mengungkapkan proses kreatif yang panjanhdalam memvisualisasikan isi pupuh "Dadi Jeksa", menjadi sebuah film tari yang boleh dibilang langka. Jenis film tari yang dia pilih, katanya, merupakan penggabungan cerita tradisional yang dinarasikan dalam bahasa tutur tari kontemporer dan dikemas dalam media film. Sehingga "Being a Prosecutor"  atau "Dadi Jeksa" telah menciptakan sebuah media baru dengan sajian yang tidak ditemukan di film jenis lain pada umumnya.

 "Di film 'Being e Prosecutor' terekam dua sifat berlawanan dalam diri seorang jaksa yang menimbulkan keambiguan. Ada paradoks kemuliaan dan keluhuran profesi jaksa sebagai pilar penjaga benteng keadilan. Tetapi sekaligus kenistaan, kemunafikan, kelicikan, dan kerakusan seorang jaksa yang memperjualbelikan hukum dan keadilan berupa suap, sogok, upeti. Itu yang mengukir dendam mendalam bagi masyarakat,” tutur Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) UNS itu, Minggu (21/6/2020).

Dalam menggambarkan alur cerita dalam pupuh "Dadi Jeksa" menjadi film tari "Being a Prosecutor", Dr. Deny menggunakan berbagai unsur semiotika atau simbol untuk mengungkapkan sebuah makna. Simbol penuh makna itu, di antaranya kebencian masyarakat yang mengakar, terekspresikan dalam ungkapan sumpah serapah "jika ada pohon yang tidak kunjung berbuah, pohon itu akan ditanami kepala Jeksa". Begitu juga dengan penggambaran terkutuknya jenazah Sang Jeksa, jika ia meninggal makamnya harus dijauhkan dari masyarakat pada umumnya.

Dr. Deny memilih menciptakan film yang berbasis budaya tradisional, di antara alasannya adalah, karena khazanah budaya Jawa merupakan sumber ide penciptaan karya seni yang sangat kaya. Di sisi lain, dia memandang film tari karyanya merupakan bagian dari upayanya melestarikan dan mengembangkan seni budaya tradisional agar lebih dikenal generasi milenial.

Di film tari "Being a Prosecutor" yang diproduksi Dr. Deny bersama dosen FSRD UNS, Dr. Bedjo Riyanto, dan almarhum Drs. Putut. H. Pramana, M.Si, pada 2019 lalu, dia juga melibatkan tim film dari The Rockies Film. Selama 8 tahun Dr. Deny bekerja bersama dalam proyek berbagai film tari dan komersial, serta didukung seorang koreografer yang sedang naik daun, Otniel Tasman beserta timnya.

“Melalui film tari tersebut, saya mengajak audiens berkomunikasi dan berdiskusi untuk menjelajahi ruang-ruang alternatif dalam penciptaan karya seni yang tidak hadir dalam film-film naratif atau jenis lain,” jelasnya.

Jerih payah Dr. Deny bersama tim menampilkan budaya Jawa dalam suguhan dance film, mendapat sambutan luar biasa di kancah internasional. "Being a Prosecutor" terpilih dalam official selection America Dance Film’s (ADF’s) Movies by Movers 2020 di Durham, Amerika Serikat.  ADF’s Movies by Movers merupakan festival dua tahunan yang didedikasikan untuk perayaan percakapan antara tubuh dan kamera, dengan mengolaborasikan seni performance dan sinematografi.

Sejak pertama dipamerkan pada Agustus 2019 di PostFest 2019, An International Art Exhibition, "Being a Prosecutor" telah diundang dalam berbagai pagelaran seni dan film bergengsi, baik di Tanah Air maupun di kancah internasional. Setelah tampil di PostFest 2019, film ini terpilih untuk dipamerkan dalam International Visual Art Exhibiton 2019 di Poh Chang Academy of Art, Bangkok, Thailand, dan dalam Jakarta Dance Carnival 2019 pada Oktober 2019. Di tahun 2020 ini, "Being a Prosecutor" yang diproduksi pada Juli—Agustus 2019, juga terpilih dalam official selection Frame Rush – A place for Screendance Film Festival di London-UK dan (C)Screen-Spring Dancefilm Festival di Barcelona-Spanyol,

“Bulan September 2020 nanti, jika tidak ada aral melintang juga akan di putar di sebuah festival film tari di Hongkong,” kata Dr. Deny mengakhiri perbincangan.

Editor: Dadang Setiawan


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x