5. Apeman, Yogyakarta
Masyarakat Yogyakarta merayakan tradisi Apeman setiap tahun menjelang bulan suci Ramadhan. Awalnya diadakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, tradisi ini kini juga diadakan di jalan Malioboro dan Sosrowijayan untuk menarik minat para wisatawan yang berkunjung.
Baca Juga: Rektor Sebut Mario Dandy Satriyo Telah Dikeluarkan dari Universitas Prasetiya Mulya
Tradisi ini dilakukan melalui pembuatan ratusan kue apem secara tradisional oleh anggota keluarga Keraton Hadiningrat Yogyakarta, dimulai dengan ngebluk jeladren atau proses pembuatan adonan, dilanjutkan dengan ngapem atau proses pembuatan apem. Tradisi membuat apem ini dipimpin langsung oleh Permaisuri Sultan dan diikuti oleh ibu-ibu keluarga keraton lainnya.
6. Pacu Jalur, Riau
Pacu Jalur adalah salah satu tradisi unik di daerah Kuantan Singingi, Riau, sebagai sebuah festival rakyat sebelum bulan Ramadhan. Tradisi ini terdiri dari kompetisi mendayung perahu kayu. Pacu Jalur berasal dari kata lokal jalur yang berarti perahu.
Tradisi ini diadakan setiap tahun di Sungai Batang Kuantan, yang telah digunakan sebagai jalur air sejak abad ke-17. Perlombaan ini selalu diadakan dengan meriah dan dianggap sebagai puncak dari usaha, kerja keras dan keringat dari semua penduduk setempat dan dianggap sebagai jeda dari hiruk pikuk sehari-hari sebelum dimulainya bulan Ramadhan.
7. Dugderan, Semarang
Tradisi Dugderan kini tidak hanya menjadi tradisi yang dilakukan oleh umat Muslim Semarang menjelang bulan puasa, namun juga telah menjadi festival tahunan yang menjadi ciri khas kota Semarang. Festival ini menyatukan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat untuk merayakan keragaman ras, budaya, kuliner, dan kesenian di Semarang.
Nama dugem berasal dari kata "dug" yang berarti bedug, dan "deran" yang berarti mercon, yang identik dengan festival ini, seperti halnya parade yang diiringi dengan bunyi-bunyian dari bedug dan mercon
Baca Juga: Wisata Cukul Pangalengan Dijadikan Tempat Favorit Sunmori Komunitas Motor
Tradisi yang telah dirayakan di Semarang sejak tahun 1882 ini menjadi lebih hidup dengan adanya karnaval warak ngendok, yang simbolnya berupa hewan mirip kambing berkepala naga. Karnaval ini dimulai dari halaman Masjid Agung Semarang dan diiringi dengan pembacaan Suhuf halakha dan pemukulan gendang.