Peninggalannya sebagai seorang Mason di Nusantara adalah gaya arsitektur Empire yang saat itu sedang populer di Perancis.
Daendels mewajibkan seluruh bangunan didirikan mengikuti gaya arsitektur tersebut. Semua konsep bangunan ini diadopsi oleh tukang bangunan alias para Mason.
Baca Juga: Kemenkumham Bangkitkan Geliat Pariwisata Indonesia Pasca Pandemi di Kepulauan Riau
Tak heran jika gedung-gedung kolonial tertua di Bandung seperti Kweekschool (kini Polrestabes Bandung di Jalan Merdeka), Loji Sint Jan (kini, Masjid Al Ukhuwah di Jalan Wastukancana), dan kantor Residen Priangan (kini Gedung Pakuan) yang dibangun di pertengahan abad ke-19 menunjukkan kemiripan dengan bentuk kuil-kuil Yunani atau tempat ibadah Freemason umumnya.
Gedung lain yang terpengaruh arsitektur Freemason ialah Van Dorp, kini Gedung Landmark, di Jalan Braga. Gedung ini kerap menjadi tempat pameran buku.
Jejak Freemason lainnya bisa ditemui di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada awal abad ke-20, Belanda membentuk komite pembangunan pendidikan teknik yang diketuai J. W. Ijzerman.
Pembangunan sekolah teknik ini mendapat dukungan dari para pengusaha perkebunan. Salah satunya Bosscha, pemilik perkebunan Malabar.
Di lain sisi, keberadaan Freemason ini dianggap kontroversi. Beberapa pemuka agama keberatan dengan keberadaan Freemason di Bandung yang dicurigai akan merusak tatanan dan menyalahi aturan agama.
Ritual dari perkumpulan Freemason di setiap gedung pertemuan (Loji) dianggap sedang melakukan penyembahan terhadap setan. Maka Loji-Loji Freemason sering disebut sebagai Gereja setan. Dan para pengikut Freemason dianggap sesat dan pemuja setan.