Manfaatkan Lahan Reruntuhan, Warga Tamansari Galakkan Urban Farming untuk Ketahanan Hidup

1 Oktober 2020, 13:33 WIB
Urban Farming di reruntuhan Tamansari Bandung /Retno/job/

GALAMEDIA - Urban farming merupakan kegiatan memanfaatkan ruang terbuka yang kurang produktif seperti lahan kosong atau lahan sisa. Warga di sekitar reruntuhan RW 04, Kelurahan Tamansari, Kota Bandung mencoba memanfaatkan lahan sisa bangunan yang runtuh untuk ditanami berbagai tanaman ketahanan pangan.

Tragedi penggusuran lahan Tamansari yang terjadi satu tahun lalu tidak lantas membuat warga sekitar reruntuhan menjadi terpuruk, justru mereka terus bangkit dan menciptakan inovasi terbarukan seperti urban farming ini.

Urban farming atau pertanian perkotaan yang sekarang hadir di Tamansari ini, tidak terlepas dari keresahan warga sekitar yang terdampak akibat adanya pandemi dengan sistem ketahanan pangannya. Eva salah seorang pengelola lahan urban farming Tamansari mengungkapkan alasan mengapa dirinya bersama dengan warga sekitar mengolah lahan reruntuhan untuk ditanami pepohonan.

Baca Juga: Mulai Hari Ini Uang Muka Mobil Jenis Ini Bisa 0 Persen

“Terkait isu ketahanan pangan, apalagi kami gitu warga terdampak di sini itupun perlu juga untuk bagaimana kita mengolah untuk keseharian. Dari situ kita bersolidaritas bersama komunitas berkebun bandung terutama berkaitan dengan cara penanaman yang paling simple, dan kita difasilitasi benih-benih dari temen-temen komunitas yang bukan Cuma di Bandung tetapi Jawa Timur dan daerah lainnya turut memberikan benih tanaman,” jelasnya saat ditemui di reruntuhan Tamansari, RW 04, Bandung, Kamis 1 Oktober 2020.

Dikarenakan lahan atau tanah untuk menanam masih sangat terbatas sehingga dirinya bersama komunitas berkebun memutar otak mencoba berbagai tekhnik bercocok tanam yang praktis seperti media tanam hidroponik. Ada banyak jenis tanaman yang ditumbuh di lahan tersebut seperti jagung, ubi cilembu,tomat, strowbery, sawi, markisa, kacang panjang, tauge dan kangkung air. Eva juga menuturkan sampai saat ini dirinya masih terus mempelajari bagaimana teknik menanam yang baik, karena kegiatan berkebun merupakan hal baru bagi dirinya.

Berbagai tanaman disini memiliki masa panen berbeda, namun yang paling mudah dan menjanjikan yaitu tauge karena waktu panen pohon tersebut relative singkat hanya 3 hari. Lebih lanjut Eva bersama warga sekitar tamansari mencoba menanam bibit tanaman lain, supaya tidak bosan dengan hasil panennya.

Baca Juga: Diserang Netizen Indonesia, Pesan Negara Ketapel Vanuatu: Jangan Lupa Bahagia

“Pertama kali nyoba tanaman hidroponik itu packcoy dan tumbuhnya bagus sekali, jadi sekarang nyoba juga tanam sawi. Karena ternyata bukan saya saja yang bersemangat warga lainnya pun sama mereka juga menyarankan untuk menanam tanaman lainnya. Tapi kita punya target yang dicapai untuk bagaimana menumbuhkan kembali tanah agraris di Indonesia tentang bagaimana mengolah alam, jadi kita semua coba semua tanaman-tanaman disini,” katanya.

Eva menjelaskan untuk program urban farming ini baru saja dilaksanakan beberapa bulan kebelakang, sehingga masih dalam proses penggarapan menuju yang lebih baik lagi. Kemudian untuk hasil panen yang didapatkan juga diperjualbelikan kepada masyarakat luar, dan dana yang diperoleh digunakan untuk modal menanam kembali. Dirinya juga menuturkan jika masih banyak yang belum terealisasikan karena keterbatasan sumber daya dan lahan untuk menanam.

“Urban farming ini baru ada bulan juni kemarin, tapi antusias warga sekitar juga sangat luar biasa dalam mengelola lahan ini. Seperti setiap pagi dilakukan penyiraman, pemberian pupuk dan pengecekan tanaman agar tidak terkena hama. Tapi kalau untuk pohon strawberry disini memang terlalu panas, Cuma kemarin sudah berbuah juga,” tuturnya.

Baca Juga: Polisi Semakin Baik, Lemkapi Berikan Promoter Reward pada Poltesrabets Bandung

Lebih jauh dia menjelaskan konsep kedepan untuk kebun urban farming ini akan diadakan backplane, atau penanaman yang di tempel didinding. Kegiatan tersebut murni kerjasama antar warga reruntuhan tamansari dengan komunitas berkebun bandung, sehingga karena modal yang terbatas lahan tersebut proses penggarapannya menjadi lambat. Namun Eva bersama warga tamansari yang lain masih terus berusaha mengembangkan lahan tersebut agar terus bertahan kedepannya.

“Nanti kita coba tanaman hias juga, karena walaupun suasana seperti ini penghijauan pun penting agar bagaimana kita tidak terlalu stress melihat reruntuhan, sebagai sarana hiburan juga. Tetapi itupun kita akan sesuaikan lagi dengan intensitas sinar matahari yang ada, agar tanaman tidak terlalu intens terkena sinar,” katanya.

Kendala yang dirasakan selama menggarap lahan urban farming ini yaitu karena kondisi reruntuhan sehingga tanah harus disuburkan terlebih dahulu. “waktu itu lahan ini diberikan vitamin diberikan pupuk dari kotoran kambing dan sekam gabah, supaya nantinya bisa ditanam, tapi Alhamdulillah setelah tanah siap tanam apapun ditanam disana bisa tumbuh,” imbuhnya.

Baca Juga: Moeldoko: Gerakan KAMI Merupakan Sekumpulan Kepentingan, Jika Memaksa Akan Ada Perhitungannya!

Selain itu salah satu pengelola kebun atau tukang kebun yang biasa menyirami dan merawat tanaman, Indra mengungkapkan jika berkebun itu menyenangkan tidak membuat pusing sekaligus sebagai hiburan juga. Dirinya biasa menyirami tanaman saat pagi hari kemudian disiang harinya dia beristirahat dan sore hari mulai kembali menyirami tanaman sembari mengecek keadaan tanaman tersebut.

Indera terbilang cukup mahir dan telaten dalam mengurusi sirkulasi pengairan yang ada dikebun. Dirinya merasa terhibur dengan hal seperti itu, karena berkebun itu bebas tidak ada aturan pastinya. “kita sama-sama merawat makhluk hidup agar tetap hidup, sehingga menghidupkan sesama makhluk itu penting,” pungkasnya.

Editor: Kiki Kurnia

Tags

Terkini

Terpopuler