Pasanggiri Tari Jaipongan Kasunyatan Batal Digelar, DKKC Beri Penjelasan Ini

- 14 Februari 2022, 19:12 WIB
Ilustrasi Tari Jaipong.
Ilustrasi Tari Jaipong. /Instagram.com/@sanggarpuspawangi
GALAMEDIA - Komite Tari Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC) batal menggelar Pasanggiri Tari Jaipongan Kasunyatan Tingkat Jawa Barat tanggal 15-17 Februari 2022 di Gedung Cimahi Technopark Jalan Baros.
 
Kegiatan yang melibatkan sekitar 300 orang penari ini terpaksa ditunda sehubungan dengan penerapan kembali Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3.
 
Ketua DKKC, Hermana HMT menyampaikan permohon maaf pada peserta dari wilayah Bandung Raya dan beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat yang telah daftar dan mempersiapkan diri mengikuti kegiatan budaya di Kota Cimahi, atas penundaan kegiatan pasanggiri tersebut.
 
 
"Kita semua kecewa, tapi aturan PPKM harus dipatuhi. Semoga kita menemukan jalan keluar bersama, sambil menunggu kebijakan baru dari pemerintah," katanya, Senin (14/2).
 
Hermana menjelaskan, semula DKKC khususnya Komite Tari berharap tahun 2022 ini adalah tahun kebangkitan kegiatan budaya. Segala aktifitasnya bisa terselenggara dengan menghadirkan ragam budaya, melibakan pelaku budaya, dan masyarakat secara langsung. Namun nyatanya Covid-19, dan PPKM masih berepisode.
 
Hermana juga mengungkapkan, dua tahun telah berlalu kegiatan budaya bersama DKKC hampir 99 persen dilakukan secara daring, dan tahun 2022 ini pelaku budaya sudah sangat merindukan untuk bisa tatap muka secara langsung dengan apresiatornya.
 
 
"Tapi kerinduan itu kembali tertahan oleh covid, dan demi menjaga kesehatan bersama. Semoga panitia dan peserta pasanggiri sama-sama memaklumi, juga bisa berpikir bersama mencari solusi agar tidak merugikan kedua belah pihak," bebernya.
 
“Harapan besar pada pemerintah pusat dan daerah, jika PPKM itu diprediksi terus berepisode agar bisa memberi solusi yang pasti. Sehingga dampak dari kebijakan yang dikeluarkannya tidak menambah panjang episode penderitaan pelaku budaya," ujar Hermana menambahkan.
 
Menurutnya, kerena berhubungan dengan publik dan ruang publik, pertunjukan seni dan pelakunya dalam setiap kebijakan PPKM diluncurkan seakan menjadi sasaran pertama untuk segera menghentikan keberlangsungan aktifitasnya.
 
 
“Pertunjukan seni dipandang bukan kebutuhan primer, maka ruang geraknya dalam kondisi PPKM sangat dibatasi. Kegiatannya dihentikan atau kembali dilakukan dalam bentuk daring,” tuturnya.
 
Lebih jauh dikatakannya, selain ruang gerak sangat dibatasi, kepedulian pemeritah daerah terhadap pemajuan kebudayaan di daerahnya juga sangat rendah dan berimbas pula pada peningkatan kuantitas, kualitas budaya, serta nasib para pelaku budayanya.
 
Bahkan, kata Hermana, menjadi barbahaya bagi ketahanan budaya, karena budaya yang dimiliki, lahir dari rahim anak bangsa sendiri dan menjadi jati diri bangsa terus direduksi oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak.
 
 
“Setiap episode PPKM dan kebijakan lainnya bukan hanya berdampak pada lambatnya bahkan tak beranjak proses pemajuan kebudayaan, tapi sangat berdampak pada sumber mata pencahari pelaku budaya yang total memanfaatkan dan menggantukan hidup dari objek pemajuan kebudayaan yang digelutinya secara propesional,” jelasnya.
 
Dikatakan Hermana, intinya bukan persoalan suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju atas kebijakan PPKM yang berepisode seperti itu, tapi bagaimana perhatian terhadap denyut nadi pelaku dan budayanya.
 
“Hajat hidup pelaku budaya dan kebudayaan yang digelutinya, harus menjadi prioritas perhatian pemerintah juga. Mungkin sebelum terjadi Covid-19 yang mewabah, mereka pelaku budaya dan kebudayaannya secara mandiri menghidupkan dan memberi penghidupan. Tapi hari ini mereka sedang sakaratul maut. Sedang menanti kebijakan pemeritah daerah dan pusat yang bisa membuat mereka bangkit dan berlari. Gerakan roda ekonomi di bidang kebudayaan,” pungkas Hermana.***
 

Editor: Dicky Mawardi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x