TB Hasanuddin Tegaskan Unjuk Rasa Tak Bisa Memakzulkan Presiden

- 5 Juli 2023, 21:45 WIB
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (p) TB Hasanuddin./istimewa
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (p) TB Hasanuddin./istimewa /

GALAMEDIANEWS - Isu akan adanya unjuk rasa yang menuntut mundur dan ingin memakzulkan Presiden Joko Widodo marak dalam beberapa waktu terakhir.

Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (p) TB Hasanuddin turut angkat bicara soal isu tersebut.

"Saya mendengar ada rencana aksi unjuk rasa di beberapa daerah. Indonesia negara demokrasi jadi ya silakan saja kalau mau demo atau unjuk rasa sebanyak apapun yang penting tertib," ujar TB Hasanuddin, Rabu, 5 Juli 2023.

Baca Juga: Usai Terima Duit Haram, Yana Mulyana Golkan Proyek CCTV dengan Ucap Bismillah

Namun, mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Jabar ini mengingatkan, tidak bisa memakzulkan presiden dengan cara berdemonstrasi turun ke jalan.

Menurut politisi senior PDI Perjuangan tersebut, konstitusi di Indonesia mengatur Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat.

"Di dalam sistem politik ketika presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat maka legitimasi dan legalitas pemimpin nasional itu sangat luas. Artinya, presiden memang tidak bisa diberhentikan di tengah jalan," tegas TB Hasanuddin.

Ditambahkan putra asli Jawa Barat ini, dengan konfigurasi koalisi partai di Indonesja, maka proses pemakzulan presiden nyaris tak mungkin terjadi.

Bahkan, jika memang terjadi, mekanismenya di DPR harus menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam maupun luar negeri.

TB Hasanuddin menyatakan, hal tersebut membutuhkan dugaan presiden dan/atau presiden melakukan pelanggaran hukum atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela, sesuai UU MD3, pasal 79 ayat 4.

Baca Juga: 3 SMK Terbaik di Bogor Jawa Barat untuk Referensi PPDB 2023 Seperti yang Dilansir LTMPT

"Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," paparnya.

UU MD3

Lebih lanjut, TB Hasanuddin mengungkapkan, keputusan tersebut akan sah bila dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah yang ada menyetujuinya. Hal tersebut sebagaimana UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3.

Jika keputusannya disetujui, tambah dia, maka wajib dibentuk Pansus yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR sebagaimana tercantum dalam UU MD3, pasal 212 ayat 2.

"Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR," ujarnya.

Ia juga menegaskan, keputusan DPR atas laporan Pansus dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR dan disetujui 2/3 anggota yang hadir, sesuai UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4. Persetujuan DPR selanjutnya dilaporkan ke MK disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.

"MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Sesuai UU MD3, Pasal 215 ayat 1," ungkap TB Hasanuddin.

Baca Juga: 14 Fakta Situs Gunung Padang, Punya Rahasia dan Misteri yang Belum Terpecahkan

Aksi anarkis melanggar UU

Setelah itu, paparnya, MPR kemudian melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden oleh DPR.

Keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui paling sedikit 2/3 jumlah anggota yang hadir seperti tertera dalam UU MD3, pasal 38 ayat 3.

"Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya tak mungkin kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat," pungkas TB Hasanuddin.

Bila kemudian ada aspirasi menurunkan presiden lewat aksi anarkis di jalanan, Hasanuddin menegaskan hal tersebut melanggar UU, bahkan dapat dikenakan tindakan pidana makar.

"Inilah demokrasi yang kita sepakati dan menjadi kesepakatan nasional. Diskusi ilmiah dengan norma akademis mengenai pemakzulan sih boleh boleh saja karena dijamin UU, tapi kalau aksi anarkis minta presiden diturunkan di jalanan, itu telah melanggar ketentuan," tutupnya.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x