Mount Everest Banyak Didaki Ekologi Mount Everest Dikhawatirkan Rusak

- 3 Maret 2024, 13:30 WIB
Kondisi basecamp I Mount Everest saat ini dipenuhi para pendaki dikhawatirkan merusak ekologi kawasan Mount Everest karena para pendaki membuang sampah sembarangan tidak membawa pulang seusai pendakian.
Kondisi basecamp I Mount Everest saat ini dipenuhi para pendaki dikhawatirkan merusak ekologi kawasan Mount Everest karena para pendaki membuang sampah sembarangan tidak membawa pulang seusai pendakian. /Tangkapanlayar YouTube The New Terrifying/

GALAMEDIANEWS – Kanchha Sherpa 91 tahun menyesali kondisi pegunungan Everest yang menjadi kotor dan penuh sesak. Anggota Sherpa yang membantu pendakian Sir Edmund Hillary pendaki pertama menaklukan Everest mengkhawatirkan kepadatan dikawasan puncak Everest akan mengganggu keseimbangan kawasan.

Kanchha Sherpa satu-satunya anggota tim Sherpa Ekspedisi Inggris 29 Mei tahun 1953 yang masih hidup, ketika untuk peramakalinya Everest didaki. Dirinya saat

membantu Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru dan Sherpa-nya memandu Tenzing Norgay ke puncak gunung masih berusia 19 tahun.

“Saat itu pakaian dan perlengkapan pendakian yang digunakan belum seperti saat ini dan tim ekspedisi bahkan tidak memiliki radio untuk berkomunikasi secara real time. Para pendaki saat ini membawa berbagai peralatan khusus, beberapa di antaranya tertinggal di gunung, selain kotoran manusia yang dihasilkan oleh para pendaki itu sendiri,” kenang Kanchha Sherpa, kepada Associated Press, sebagaimana dikutip dari situs berita The Independent Minggu 3 Maret 2024.

Baca Juga: Gempa Nepal Picu Longsor Salju di Mount Everest, 8 Pendaki Tewas

Sejak saat pertamakali Sir Edmund Hillary menaklukan puncak Everest,  puncak gunung tersebut telah didaki oleh lebih dari enam ribu orang. Pihak berwenang mengeluarkan sejumlah izin 478 pendakian untuk musim pendakian tahun lalu.

Kanchha mendesak para pendaki dan operator tur untuk mengurangi jumlah izin yang diberikan. Hal ini untuk melindungi puncak gunung yang dianggap oleh masyarakatnya sebagai dewa mereka.

“Akan lebih baik jika gunung tersebut mengurangi jumlah pendaki.Saat ini selalu ada banyak orang di puncak,” kata Kanccha.

Dikatakannya, kepadatan penduduk di puncak yang sensitif secara ekologis telah memicu kekhawatiran para ahli pendakian gunung yang mengatakan hal itu akan mengganggu keseimbangan kawasan.

Baca Juga: Berita Terkini Kecelakaan Pesawat di NEPAL, 67 Penumpang Tewas Seketika

Kanchha mengatakan bagi masyarakatnya Everest dikenal sebagai Qomolangma, nama lokal Tibet, yang berarti "Dewi Ibu Dunia". “Itu adalah dewa terbesar kami dan mereka tidak boleh mengotori para dewa, Qomolangma adalah dewa terbesar bagi para Sherpa tetapi orang-orang merokok dan memakan daging lalu membuangnya ke gunung,” kata Kanccha.

Dalam upaya untuk menindak sampah yang ditinggalkan oleh para pendaki, peraturan baru mewajibkan para pendaki untuk membawa kotoran mereka kembali ke base camp dalam kantong kotoran setelah mendaki gunung tertinggi di dunia.

Selama musim pendakian musim semi tahun lalu, 667 pendaki mendaki puncak, membawa serta ribuan staf pendukung ke base camp antara bulan Maret dan Mei.

Meskipun ada peraturan yang mengharuskan pendaki harus turun dengan semua sampah, perlengkapan, dan barang-barang pribadinya dari gunung atau akan kehilangan uang jaminannya, pengawasan dan penegakan peraturan ini terbukti tidak memadai.

Baca Juga: Kecelakaan Pesawat di Nepal, 22 Jenazah Korban Ditemukan

“Sekarang sangat kotor. Orang-orang membuang kaleng dan bungkusnya setelah makan. Siapa yang akan mengambilnya sekarang?” kata Kanchha, yang tinggal di desa Namche di kaki Gunung Everest.

“Beberapa pendaki hanya membuang sampahnya ke jurang yang pada saat itu tersembunyi, tetapi akhirnya akan mengalir ke base camp saat salju mencair dan membawa mereka ke bawah.”

Kanchha termasuk di antara tiga Sherpa yang pergi ke kamp terakhir di Everest bersama Sir Edmund dan Tenzing. Mereka tidak bisa melangkah lebih jauh karena tidak memiliki izin.  Ketika Hillary dan Tenzing mencapai puncak, Kanchha tetap berada di Kamp 2. “Tidak ada radio, jadi kami menunggu dan menunggu. Ketika mereka turun, semua orang berpelukan dan bersorak,” katanya kepada National Geographic.

Pendaki tetap menggunakan jalur yang telah mereka tentukan dari base camp hingga puncak. Namun, bagian yang terbentang dari base camp hingga Camp 1, melintasi Air Terjun Es Khumbu yang tidak stabil, mengalami perubahan setiap tahun.

“Kami semua berkumpul di Kamp 2 tetapi tidak ada minuman beralkohol sehingga kami merayakannya dengan teh dan makanan ringan. Kami kemudian mengumpulkan apa pun yang kami bisa dan membawanya ke base camp,” kenang Kanccha Sherpa.***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x