Perubahan Sosial Pasca Kudeta 15 Juli di Turki

10 April 2022, 12:00 WIB
Foto penulis, Wawan./dok.IST /

GALAMEDIA - Negara dengan sejarah panjang sebagai salah satu pewaris kejayaan peradaban Islam itu saat ini telah berubah menjadi negara bangsa yang dikenal dengan nama Turki. Setelah berakhirnya masa Kesultanan Utsmani, Turki berubah dari sistem Kekhalifan bersendikan Islam menjadi negara sekuler dengan Mustafa Kemal Attaturk, Presiden pertamanya.

Ia dikenal sebagai bapak Turki modern. Setelah kepemimpinan Mustafa Kemal, militer memegang peranan yang cukup penting pada pemerintahan di Turki sekaligus sebagai penjaga ideologi Kemalism, (Republikanisme, nasionalisme, kerakyatan, sekulerisme, etatisme dan revolusionisme).

Kebijakan-kebijakan negara tidak lepas dari pengaruh dan intervensi Militer. Empat kali kudeta sejak tahun 1960 menggambarkan betapa dominannya militer Turki. Selama itu pula militer mampu mengambil alih legitimasi publik memainkan skenario merangkul elemen masyarakat lainnya, termasuk dengan media.

Setelah kudeta terakhir terjadi di tahun 1997, terjadi lagi percobaan kudeta yang dilakukan pada malam hari tanggal 15 juli 2016. Peristiwa ini begitu menghentak dunia internasional lewat media sosial, Twitter.

Begitu terbukanya informasi sehingga sekuel drama kudeta yang dilakukan militer berhadapan dengan masyarakat Turki yang menentang dijalan-jalan di Kota Ankara dan Istanbul menjadi pemandangan jutaan pasang mata di seluruh dunia.

Saat itu militer memblokir jembatan Fatih Sultan Mehmet di atas Selat Bosphorus yang menghubungkan Istanbul dengan daratan Turki sisi Asia. Perdana Menteri Turki Binali Yeldrim membenarkan peristiwa yang didalangi oleh sekelompok pejabat militer. Sementara itu Presiden Erdogan sedang berada di Kota Marmaris.

Militer mengambil alih pemerintahan dengan alasan Presiden Erdogan telah menyalahi konstitusi yang demokratis dan sekuler. Melalui media televisi TRT, Angkatan Bersenjata Turki mengumumkan adanya jam malam di Ankara dan Istanbul serta mengeluarkan maklumat yang di antaranya berisi tentang pengambilalihan semua Lembaga administratif di Turki guna mengembalikan tatanan konstitusi, hak asasi manusia, serta kebebasan rakyat Turki.

Selang beberapa jam kemudian lewat aplikasi FaceTime, Presiden Erdogan berhasil dihubungi oleh CNN Turki. Ia mengimbau rakyat Turki untuk berkumpul di alun-alun dan Bandara melawan kudeta. Ia percaya akan kekuatan rakyat lebih besar dari apaupun.

Rakyat kemudian turun ke jalan dan berhadap-hadapan dengan Militer, sampai akhirnya menjelang pagi situasi berbalik tekanan bagi kelompok pengkudata dan kondisidinamika politik menjadi lebih terkendali. Para militer yang mengkudeta sebagian berhasil ditangkap warga.

Sebegitu rapuh dan terlihat kudeta yang kurang terkoordinir dengan rapi sehingga dengan mudah dipatahkan oleh rakyat. Belakangan diketahui dalam struktur organisasi Militer tidak adanya kesatuan Komando, terdapat kelompok yang pro dan kontro akan kudeta yang dilakukan.

Mencermati uraian singkat di atas, penulis akan coba mengurai apa dan bagaimana kudeta dilakukan. Motif dan siapa dibalik kudeta serta berbagai analisis yang dapat menjadi bahan diskusi mengapa kudeta pada 15 Juli 2016 mengalami kegagalan dalam subtopik pembahasan.

Selama empat belas tahun kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan membawa banyak perubahan besar di Turki. Satu sisi diawal kepemimpinannya pada lima tahun pertama memberikan harapan cukup positif dan membangkitkan optimisme bagi warga Turki terutama pada aspek pertumbuhan ekonomi.

Namun di sisi yang lain banyak konflik dan intrik politik kemudian menghiasi dinamika politk di Turki. Hubungan pasang surut dengan kelompok Gulen, perebutan pengaruh termasuk juga dengan kelompok Kemalis yang sekuleris ikut menjadi warna politik selama kepemimpinan Erdogan.

Tentu saja kudeta tidak serta merta akan terjadi yang boleh jadi merupakan akumulasi ketidakpuasan beberapa kelompok yang menjadi lawan politik Erdogan. Namun sekonyong-konyong mengarahkan tuduhan terhadap kelompok anti Erdogan sebagai dalang di balik kudeta tanpa bukti yang kuat justru akan semakin membuat situasi sosial ekonomi dan politik akan semakin bergejolak.

Satu hal yang mungkin perlu dianalisis ialah memahami identitas dari kudeta, bagaimana karakter pemimpin kudeta, ideologi dari kelompok kudeta, struktur organisasi dan pola operasinya, alasan kudeta, prinsip-prinsip dan tujuan kelompok tersebut, relasi internal dan eksternal, sekutu dari kelompok kudeta dan lawan utam dari kelompok pengkudeta.

Miskalkulasi militer dan ketidakmampuan mengontrol media

Dalam tubuh militer sejatinya terdapat pro dan kontra, terutama dikalangan prajurit bawah. Alasan kudeta teras tidak begitu kuat untuk mempengaruhi sisi emosinal prajurit.
Militer terbelah ada yang mendukung tetapi tidak sedikit yang yang menolak kudeta. Beberapa bahkan melakukan sabotase baik secara personal dan kelompok guna menghambat operasi militer dalam rangka kudeta.

Misalnya dengan melepas supply power kendaraan tempur agar tidak dapat dioperasionalkan dan seterusnya baik secara tidak langsung ikut menghambat dan menggagalkan percobaan kudeta merupakan kerja dari sebuah organisasi yang cukup familiar yang dikenal dengan Gulen Movement. Angggotanya dinamakan Hizmet Hareketi.

Disamping resistensi dari kalangan militer, alasan lain di balik kegagalan kudeta ialah peranan media yang memilih kontra terhadap militer. Menurut catatan sejarah Turki, peranan media sangat penting dalam setiap percobaan kudeta, dimana biasa digunakan dengan tujuan tertentu oleh kelompok yang mengusung kudeta.

Pada saat tersebut momen dimana kudeta diumumkan. jargon 'kebebesan pers' akan menghadapi dilema dan pilihan melegitimasi kudeta atau mengambil posisi bersama demokrasi. Pada malam 15 Juli 2016 seluruh media mengambil posisi menentang kudeta. Seluruh media mendukung demokrasi dan rakyat Turki, dan inilah faktor dominan menjadi penyebab kegagalan kudeta.

Meskipun media menjadi faktor utama yang perlu juga diperhatikan apakah media benar-benar menjadi aktor utama atau sebagai alat yang digunakan oleh sang 'aktor'.

Catatan sejarah menyebutkan bahwa empat kali kudeta di Turki berhasil dilakukan yakni pada tahun 1960, 1971, 1980 dan 1997. Militer Turki secara sewenang-wenang mengintervensi politik sipil dengan mengganti pemerintahan terpilih menggunakan kekerasan.

Setiap saat, Komandan Militer mempertimbangkan pentingnya peran media yang mampu untuk mendiskridtkan pemimpin terpilih guna memuluskan jalan bagi intervensi militer dan melegitimasi aksi dari aktor kelompok kudeta.

Kudeta Turki pertama yang berhasil dilakukan pada 27 Mei tahun 1960 terjadi ketika kelompok tantara yang dipimpin oleh 37 perwira pertama menahan atasan mereka, menduduki Gedung pemerintahan dan mengambil alih kontrol radio publik dan mengumumkan bahwa mereka bertanggung jawab atas negara.

Setelah beberapa bulan kemudian, pengadilan memutuskan bahwa pemimpin partai demokratik (DP), termasuk Perdana Menteri Adnan Menderes, bersama dua kabinet kementerian dihukum mati pada September 1961. Presiden Celal Bayar, seorang pahlawan kemerdekaan juga disingkirkan dari jabatannya, meskipun mendapat pengampunan, karir politiknya berakhir setelah kudeta.

Kudeta 1960 menjadi penanda bagi Kerjasama antara militer dan media masa menyerang rezim politik yang sedang berkuasa dan melegitimasi kudeta lewat informasi media selanjutnya menggiring opini bahwa junta militer sebagai penyelamat Republik.

Setelah beberapa dekade hubungan antara media dan pemimpin militer menjadi sangat erat dan militer menyadari kampanye media dapat digunakan bagi kepentingan mereka. Banyak reporter, kolumnis dan editor bekerjasama dengan militer, mengesampingkan idealism mereka sebagai pilar demokrasi.

Mereka dijadikan alat untuk mengkampanyekan kelompok militer sebagai penjaga Republik. Pada tahun 1971 dan 1980 media-media utama mendukung intervensi militer terhadap pemerintahan sipil, Militer meredam dan menetralisir berbagai kritik.

Media pemerintah TRT memonopoli pemberitaan yang memudahkan penjaga rezim mengarahkan publik sesuai dengan keinginan mereka. Selama perang dingin para jurnalis muncul sebagai partner dekat Militer. Media-media utama tetap bekerjasama dengan Militer, sekalipun Uni sovet telah runtuh.

Pada 1997 para jurnalis menjadi pemeran kunci, dimana para petinggi militer mengeluarkan ultimatum pada pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh pemimpin partai Welfare Party, Necmetin Erbakan pada pertemuan sidang pertahanan Nasional.

Yang terkenal pada 27 peristiwa Februari 1997 dikenal 'kudeta postmodern' intervensi militer terhadap pemerintahan sipil. Militer memilih media dan NGO sebagai partner untuk mengambil kekuasaan tanpa harus menggunakan kekerasan. Saat itu media semisal Hurriyet, mengkampanyekan opini publik yang anti terhadap kebijakan pemerintah terpilih, memfabrikasi narasi dan menggunakan gambar-gambar provokatif.

Partai AKP yang menjadi pemenang Pemilu 2002 melihat fenomena kudeta sebagai suatu kemungkinan yang bisa terjadi pada mereka kapan saja. Oleh karena pengalaman tersebut pemimpin partai AKP berusaha untuk merestrukturisasi pola hubungan sipil militer.

Meskipun partai AKP mengubah struktur kelembagaan untuk campur tangan militer dalam politik, sulit bagi pemerintah untuk mengubah modus operandi media dalam melegitimasi suatu kudeta. Sejatinya hubungan antara media dan petinggi militer belum berubah.

Meskipun begitu perlu diketahui bahwa para pendukung intervensi militer dalam politik sipil telah terpinggirkan sebut saja kelompok Kemalis dan Jurnalis, sekutu tradisional komplotan kudeta mulai menyampaikan narasi ketidaksahan suatu kudeta yang telah berulang kali terjadi dalam sejarah politik Turki.

Dalam diskusi nasional tentang hubungan sipil-militer pada tahun 2002 Partai AKP menegaskan bahwa tidak ada kudeta yang legal (legitimate), tidak ada pemerintahan dibawah militer, pemerintahan hanya akan naik dan turun lewat pemilihan umum.

Di tahun 2007, salah satu pencapaian dari pemerintah adalah menggunakan media yang sosial, yang mampu mengambil alih peran media utama dimana secara tradisional menjadi pendukung militer guna meraup pemilih secara langsung. Pada akhirnya iklim politik Turki berubah menjadi lebih liberal sejak tahun 1990, memunculkan wajah politisi sipil yang lebih menarik suara pemilih.

Setelah perubahan posisi pada hubungan sipil militer, media-media utama bereaksi atas percobaan kudeta pada 15 Juli 2016 dengan reaksi yang belum pernah terjadi sebelumnya yakni menentang (oposisi) terhadap penggunaan kekuatan militer.

Perubahan mind set media tidak hanya disebabkan oleh kebijakan demokratis Partai AKP terkait pola hubungan sipil militer namun juga paralel dengan perkembangan media yang juga mengalami perubahan cara pandang dan konsep pemberitaan yang memunculkan alternatif via media sosial.

Peran media sosial juga terlihat ketika terjadi fenomena Arab Spring. Beberapa penulis menyadari bahwa media sosial cenderung bertolak belakang dengan media konvensional yang lazim terfabrikasi sehingga muncul pergerakan revolusi politik di Aljazair, Mesir, Suriah dan Tunisia.

Di kemudian hari Gerakan revolusi ini dikenal dengan Revolusi Twitter, yang mengancam rezim otoriter. Platform media semisal Facebook, YouTube, dan Twitter menjadi saran penyebaran informasi secara tidak terkendali oleh rezim penguasa yang biasanya mengandalkan media-media utama.

Kesadaran rakyat Turki akan Demokrasi

Akibat dari dinamika politik Turki termasuk aksi kudeta oleh kelompok Militer tentu berdampak pada warga dan masyarakat Turki. Merekalah yang paling mengetahui dan paling menderita akibat gejolak politik yang ditimbulkan oleh kudeta. Mereka telah mengalami sekian kali kudeta yang meninggalkan trauma bagi warga sipil.

Tidak ingin hal itu terjadi lagi warga tidak ingin kesalahan yang sama akan terjadi untuk kesekian kalinya. Secara sosio politik warga Turki terdiferensiasi dalam beberapa kelompok besar, yakni kelompok Kemalis sekuleris, Islamis, Nasionalis, dan kelompok Kurdi. Namun setajam apapun perbedaan pandangan mereka tidak tertarik membiarkan Turki dalam rezim militer.

Pengalaman dan trauma masa lalu cukup menjadi pelajaran dan kesadaran akan demokrasi semakin menguatkan dan menyatukan rakyat Turki. Trauma akibat ketidakstabilan ekonomi dan politik menjadi pertimbangan kelompok-kelompok yang anti Erdogan sekalipun.

Respons Erdogan dan partai AKP

Erdogan melakukan koonsolidasi dengan mencoba menghubungi beberapa pejabat penting termasuk kepala MIT Hakan Fiden, Selanjutnya Erdogan dan partai AKP ikut menggerakkan masyarakat menggunakan platform media sosial facetime. Para kader AKP juga secara militan dan saling bersinergi memperkuat konsolidasi menghimpun kekuatan internal dan bergabung dengan masyarakat turun ke jalan.

Setelahnya Erdogan melakukan bersi-bersih total. Tidak kurang dari 8 ribu orang ditahan, termasuk didalamnya anggota militer 6.000 orang, polisi, hakim dan Gubernur. Disamping mngkonsolidasaikan kekuatan kekuatan politik di Internal, Erdogan juga aktif melakukan komunikasi dengan para pemimpin dan pemimpin politik dunia meskpin saat itu pihak Barat bernada skeptis dengan gagalnya kudeta.

Aktor Dibalik kudeta

Semua data informasi termasuk data intelijen, catatan sejarah, pengakuan dari kalangan pengadilan, media sosial, Informasi rahasia baik langsung maupun tidak langsung membuktikan bahwa percobaan kudeta dilakukan oleh Gerakan Gulenist.

Namun Patrick Kingsley dalam catatannya mengambil dari beberapa pengamat Turki meragukan keterangan resmi dari Pemerintah mengenai keterlibatan kelompok Gulen. Sebagaimana pernyataan Asli Aydintasbas, boleh jadi itu merupakan suatu operasi yang terorganisi dengan baik, tetapi apakah itu hanya melibatkan kelompok Hizmet. Mobilisasi pasukan tentara ini sangat besar yang memungkinkan keterlibatan banyak pihak.

Dogu Ergil, pengamat politik dari Universitas Ankara meragukan kudeta dilakukan oleh kelompok Hizmet, karena persiapan yang sangat buruk, kelompok Gulen tidak akan melibatkan diri dalam tindakan amatiran seperti itu. Banyak kalangan pun menilai hal senada, sangat buruk dalam pengorganisasian. Kudeta ini tidak cukup kuat dan sangat minim dukungan militer.

Pada prinsipnya terlihat, percobaan kudeta ini seolah terlihat tidak serius dan menggambarkan suatu kesatuan komando yang terintegrasi. Mereka mengambil alih stasiun TV negara, namun tidak dengan koneksi satelit yang memungkinkan pemerintah memilki kesempatan membangun narasi. Mereka menangkap panglima Angkatan bersenjata, Hulusi Akar, menguasi jembatan di Istambul, dan mengambil alih komando di Ankara.

Akan tetapi tokoh kunci lepas dari pengamatan, membiarkan mereka mengumpulkan dukungan dan perlawanan. Dengan memblokade jembatan, mengambil alih markas militer dan beberapa pesawat bagaiamana mungkin mereka dapat berhasil, kata Ulgen. Hal itu sama dengan kudeta bunuh diri, lanjutnya.

Ezgi, seorang jurnalis dan penulis Turki menganalisis bahwa kudeta yang dilakukan pada tanggal 15 Juli 2016 terlihat tidak sebagaimana mestinya sebuah kudeta dilakukan. Ini didasarkan oleh beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, partai AKP telah menjanjikan reduksi terhadap keterlibatan militer dalam pemerintahan.

Pada tahun 2007, panglima Angkatan bersenjata Turki Jenderal Yasar Buyukanit, menentang Abdullah Gul menjadi Presiden, diketahui Abdullah Gul adalah mantan rekan lama Erdogan. Partai AKP dan parlemen menolak kemungkinan intervensi dilakukan oleh Jenderal Buyukanit dan juga Abdullah Gul.

Percobaan pengambil alihan pemerintahan melahirkan konflik antara AKP dan militer, dan hal ini menaikkan popularitas dan dukungan terhadap AKP. Kemudian setelah penyelidakan terhadap Jenderal Buyukanit, berlanjut pada investigasi terhadap Ergenekon. Berdasarkan dakwaan Ergenekon adalah organisasi teroris yang terdiri dari nasionalis sekuler di dalam sistem politik.

Mereka diduga merencanakan pembunuhan dan serangan bom untuk menggulingkan pemerintah dan telah mempengaruhi lingkungan politik Turki selama beberapa dekade. Di antara mereka ada seorang mantan kepala Angkatan bersenjata, Jenderal Ilker Basbug. Pada tahun 2010 kasus yang melibatkan Sledgehammer (Balyoz) dimulai, yang mana hal ini berakibat pada penahanan 300 orang pejabat militer.

Mereka dituduh merencanakan kudeta tahun 2003 terhadap pemerintah, tetapi sebagian besar bukti ditemukan palsu. Seluruh terdakwa di dua persidangan di bebaskan. Kemudian tuduhan diarahkan kepada pengikut Fethulah Gulen di militer, intelijen, polisi dan pengadilan. Awalnya terdapat hubungan antara AKP dan Gerakan Gulen yang ditujukan untuk menghilangkan dominasi sekuler di dalam negara dan kelompok militer.

Pada akhirnya AKP dan Gulen terlibat perseteruan dalam berebut pengaruh. Diakui juga bahwa Gerakan Gulen dalam struktur negara cukup mengakar dan sulit teridentifikasi. Presiden Erdogan berjanji akan melakukan bersih-bersih dengan melakukan penangkapan dan melancarkan kampanye yang ditargetkan pada titik tertentu.

Beberapa petinggi militer mengecam kudeta, Panglima Angkatan bersenjata dan dua jenderal Angkatan laut dilaporkan disandera. Namun panglima selanjutnya dibebaskan namun keberadaan du petinggi Angkatan laut belum diketahui.

Beberapa teori muncul dari percobaan kudeta yang gagal ini. Salah satu teori menyebut ini adalah 'false flag' dari Erdogan untuk semakin menggenggam kekuasaan, namun secara nalar hal itu terlalu berlebihan untuk dijustifikasi dan perlu pembuktian.

Teori berikutnya yang diusung oleh Gerakan Kurdi bahwa Kemalis, pengikut Mustafa Kemal, sekuleris di ketentaraan memperdaya kelompok Gulen untuk melakukan kudeta. Mereka paham bahwa itu akan gagal dan mengarah pada pembersihan kelompok Gulen yang diinginkan oleh militer. Prediksi lain datang dari sumber kepolisian, yang mengatakan bahwa AKP telah merencanakan untuk menangkap pejabat militer pendukung Gulen pada 16 Juli.

Sumber tersebut mengklaim bahwa ketika komplotan kudeta mengetahui hal ini, mereka melanjutkan dan memulai kudeta lebih awal dari yang direncanakan, sehingga ini menjadi suatu kecerobohan. Presiden Erdogan dan jajaran kabinetnya di kementerian menyalahkan kelompok Gulen atas terjadinya kudeta. Pertanyaan yang muncul, pertama, penggunaan kekerasan bukan tipe dan karakter Gerakan Gulen.

Kedua, pernyataan Junta, yang dibacakan secara paksa di TV resmi pemerintah saat sedang kudeta berlangsung, sangat mirip dengan pidato terkenal Mustafa Kemal pada pemuda Turki.
Pemerintah AKP mengklaim bahwa seorang jaksa militer berada dibalik upaya bersama dengan 46 perwira yang namanya bocor ke media saat larut malam. Hingga saat ini belum ada kepastian siapa sebenranya dibalik kudeta Militer di Turki.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas diperoleh beberapa kesimpulan bahwa kudeta di Turki telah berulang kali terjadi. Militer senantiasa berusaha mengambil posisi penting dalam tubuh pemerintahan dan eksistensi negara. Kudeta memunculkan berbagai teori termasuk teori kosnpirasi false flag untuk mengukuhkan posisi Erdogan dan partai AKP.

Perspektif dari AKP bahwa kesadaran masyarkat untuk bersama menyelamatkan demokrasi dan mengakui kepemimpinan yag terpilih lewat jalur demokratis akan tetap eksis meskipun berhadapan dengan teror dari kelompok kudeta. Para pengamat luar negeri Amerika dan Uni Eropa meyakini kudeta yang dilakukan terasa banyak kejanggalan yang keduanya sisi penafsiran belum dapat ditemukan secara pasti apa dan siapa dibalik kudeta sebenernya. Kelompok Pemerintah dan partai AKP menuding Gerakan Gulenis berada dibalik upaya kudeta.

Analis Barat meragukan hal itu sebagaimana terlihat dari display pasukan dan pola operasinya yang cenderung serampangan dan tidak terkoordinasi dengan baik. Kudeta juga mengukuhkan posisi politik partai AKP dan Erdogan dengan kembali memperoleh simpati dan dukungan luas dari warganya. Sementara kelompok Gulenist semakin terancam oleh karena tudingan-tudingan yang menyasar mereka dan keluarganya.

Penulis:
Wawan
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik Global, Kajian Wilayah Timur Tengah Universitas Indonesia

DISCLAIMER: Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler