Saatnya Beralih Makanan Pokok dari Nasi ke Sagu

25 Mei 2023, 10:28 WIB
Syabar Suwardiman, S.Sos., M.Kom /

 

GALAMEDIANEWS- Tulisan ini penulis dedikasikan kepada Prof. Bambang Hariyanto yang telah memberikan hadiah buku: “Sagu Pangan untuk Indonesia Sehat”.  Sekaligus meminta penulis untuk ikut bagian mengkampanyekan sagu “emas hitam” dengan segala potensinya agar Indonesia terhindar dari krisis pangan.  Penulis pernah belajar Antropologi Kesehatan, bagian tersulit dari program apapun adalah mengubah mindset manusianya.  Semoga bermanfaat!

Suatu saat dunia harus berterima kasih kepada Indonesia, karena menyelamatkan penduduk dunia dari krisis pangan. "Apabila dunia dilanda cuaca ekstrem, hanya sagu tanaman penghasil karbohidrat yang mampu bertahan, dan penduduk dunia akan sangat berterima kasih kepada Indonesia ketika mau membagikan sagunya, karena 1 juta hektare hutan sagu di Indonesia akan mampu menghidupi miliaran manusia penghuni planet bumi." (Prof. Masanori Okazaki)
Indonesia setidaknya memiliki 77 jenis tanaman untuk menghasilkan karbohidrat. Namun saat ini yang populer adalah tanaman padi, penghasil beras yang kemudian menjadi nasi. Potensi pengganti terbesar yang diharapkan adalah tanaman sagu.

Ketergantungan pada nasi tentunya sangat berpengaruh pada devisa negara. Sebab setiap tahun untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri kita harus mengimpor beras. Sampai saat ini cita cita untuk swasembada pangan tidak bisa terwujud secara berkesinambungan. Dalam jangka panjang ini tentunya akan terus menggerus cadangan devisa kita. Mengapa terjadi?

Baca Juga: Kaya akan Manfaat, Inilah Segudang Kandungan Pisang yang Baik bagi Kesehatan Tubuh


Cuaca yang makin ekstrem, lahan yang makin terbatas, membutuhkan irigasi yang memadai serta faktor lainnya yang tentunya berdampak pada investasi prasarana dan sarana negara di bidang pertanian.

Revolusi Besar Pertama Manusia Hidup Menetap

Penemuan tanaman biji berupa padi ini mengubah kehidupan manusia secara total. Dari kehidupan berpindah-pindah menjadi kehidupan menetap. Meskipun tidak langsung menetap seperti saat ini, karena belum terpikirkan adanya sistem irigasi untuk pemeliharaan tanaman padi.


Mereka masih berpindah untuk mencari lahan subur atau membuka hutan, kita kenal mereka sebagai masyarakat peladang. Masyarakat peladang masih bisa kita temukan pada masyarakat kasepuhan di Jawa Barat atau pada masyarakat Dayak di Kalimantan.
Jejak tanaman padi di Indonesia ada sekitar 3.500 tahun atau 3.5 saharsawarsa yaitu di daerah Ulu Leang Sulawesi.

Sementara sistem irigasi baru ada 1.000 tahun yang lampau atau saat mulai berkembang Kerajaan Hindu di Indonesia. Contoh yang ada sampai sekarang adalah irigasi Subak di Bali dan irigasi irigasi kecil di Jawa. Sementara irigasi modern dimulai pada pertengahan abad ke-19, sebagai upaya mengatasi kelaparan yang terjadi di Jawa Tengah. Lalu berkembang pesat pada awal abad ke-20 sebagai bagian dari politik etik pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga: Baik Untuk Kesehatan, Inilah Sejumlah Manfaat dari Bunga Matahari. Nomor 2 Sangat Ampuh!


Saking bersyukurnya masyarakat Jawa dengan tanaman padi ini, di tengah masyarakat timbullah cerita tentang Dewi Sri. Kemudian ritual ketika akan panen, tidak boleh ada sisa makanan nasi di piring disertai dengan nasihat rasa syukur. 

Dahulu ada tempat khusus untuk menyimpan beras yang kita kenal padaringan, yang boleh mengambil hanya perempuan/ibu. Betapa kita saat itu memuliakan beras dengan sangat baik. Ironinya sekarang, Indonesia adalah negara yang masuk sebagai negara pembuang sisa makanan terbesar.

Mengganti Makanan Pokok dari Nasi ke Sagu

Mengapa harus sagu? Selain yang telah diutarakan oleh Prof. Masanori Okazaki, penulis memiliki pengalaman berharga saat memilih makanan dengan sistem antre dengan menunjuk makanan yang dipilih/diinginkan. Setiap ke sini pilihan penulis adalah bubur sagu dengan campuran kolak, tetapi yang utama dipilih adalah bubur sagunya.

Di belakang penulis antre seorang perempuan Tionghoa, yang kemudian menyatakan "pilihan bapak bagus". Lalu dia menyampaikan manfaat sagu, sebagai obat mag, mencegah diabetes dan manfaat lainnya.

Tiap jajan di restoran lagendaris ini, pilihan saya memang selalu bubur sagu. Dikenalkan saat SMP, sampai sekarang lidah sudah melekat dengan bubur sagu restoran ini. Biasanya diperbolehkan maksimal mencampur dengan 4 jenis kolak lain, antara lain yang penulis ingat kolak pisang dan hanjeli.

Baca Juga: Wajib Tahu! 6 Manfaat Udang untuk Kesehatan, Nomor 5 Sangat Tak Disangka!


Ternyata secara kajian ilmiah sagu memiliki indeks glikemik yang rendah artinya sangat baik untuk mencegah diabetes. Sementara nasi memiliki indeks glikemik yang tinggi, sehingga wajar para penderita diabetes mengurangi konsumsi nasi. Lebih lanjut inilah manfaat jika makanan pokok beralih ke sagu selain mencegah diabetes, yaitu, mengurangi impor beras, mengurangi beban BPJS Kesehatan karena klaim dari para penderita BPJS mencapai 3,27 triliun/tahun.


Indonesia adalah pusat sagu dunia, hampir 90% produk sagu berasal dari Indonesia, tentunya ini potensi yang sangat besar. Jangan sampai kita kehilangan “emas hitam” yang memiliki banyak manfaat.

Potensi ini tentunya harus menjadi konsen pemerintah, mengubah pola makanan pokok nasi ke sagu. Dalam menuju perubahan makan pokok ini, tentunya harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan melibatkan para pakar di tiap bidang (lintas ilmu). Terpenting harus diumulai dari kalangan peegang kebijakan dalam hal ini pemerintah.

Sagu dan Diabetes

Dalam relief Candi Borobudur, terdapat empat palma kehidupan, atau empat tanaman palem, yaitu lontar, nyiur, aren dan sagu. Dari jejak relief tadi sejarawan memercayai bahwa makanan pokok asli Indonesia adalah sagu.

Dengan demikian sebenarnya adalah hal yang sangat memungkinkan untuk kembali beralih ke sagu, karena secara dan masyarakat Indonesia asalnya memiliki kebiasaan makanan pokoknya adalah sagu.

Bahasa Jawa sego dan Bahasa Sunda sangu, diyakini adalah sagu bukan nasi. Secara bahasa kebiasaan melekat pada nama sering terjadi. Misal semua jenama air mineral adalah Aqua. Datangnya padi tidak mengubah lidah orang Jawa untuk tetap mengucapkan sego, atau orang Sunda dengan sangu.

Kesempatan ini harus segera dimanfaatkan dan diamankan pemerintah agar kita terhindar dari krisis pangan dan terbebas dari penyakit diabetes. Diabetes ada dua tipe, yaitu genetis (keturunan) dan diabetes karena pola hidup. Dari data kesehatan ternyata 90% penderita diabetes adalah tipe kedua, yaitu pola hidup.

Diabetes tipe kedua menurut para pakar kesehatan disebabkan oleh: pola makan, stres, makanan bersoda dan malas bergerak. Khusus untuk masalah malas bergerak Indonesia juaranya. Tidak mengherankan kemudian untuk penyakit diabetes ini Indonesia menduduki ranking keempat di dunia.

Menurut WHO pada tahun 2000 di Indonesia terdapat 8.4 juta penderita diabetes.  Bayangkan dengan beban seperti ini tingkat produktivitas masyarakat. Bayangkan pola beban BPJS Kesehatan jika semua penderita mengklaim untuk pengobatannya.

Baru 382.680 atau hanya 4.56% penderita yang mengklaim saja bebannya sudah 3, 27 triliun pertahun. Diabetes adalah pangkal segala penyakit, sehingga kalau bisa dicegah maka tingkat Kesehatan juga akan makin baik.


Dari data tadi sudah saatnya pemerintah dengan segenap kewenangannya melakukan revolusi perubahan makanan pokok masyarakat Indonesia, jangan sampai potensi “emas hitam” ini diambil pihak lain. Ayo beralih ke sagu!***

Penulis :

Syabar Suwardiman, S.Sos., M.Kom

Kepala SMPIT Bina Bangsa Sejahtera Bogor

DISCLAIMER: Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim.***

 

Editor: Lina Lutan

Tags

Terkini

Terpopuler