Degradasi Moral Remaja Tantangan Bagi Ruang Pendidikan

23 Oktober 2023, 08:29 WIB
Ilustrasi bullying./ist /

Oleh :
Rahmat Suprihat, S.Pd
Aktivis Pendidikan Kota Bandung

GALAMEDIANEWS - Maraknya kasus yang melibatkan anak usia remaja menjadi pemandangan yang lazim kita saksikan akhir-akhir ini.

Dari mulai tawuran pelajar, bullying, kasus kriminal, narkoba, seks bebas bahkan sampai pada kasus pembunuhan.

Baca Juga: SMA dan SMK Terbaik di Kabupaten Tuban, Terdapat 3 Sekolah yang Memiliki Nilai UTBK Tinggi se-Jawa Timur

Kehadiran kasus-kasus yang melibatkan remaja membuat miris banyak pihak. Bangsa kita yang sudah sejak lama memiliki etika dan kesantunan tinggi itu sepertinya hanya berupa prasasti yang tinggal kenangan.

Rahmat Suprihat, S.Pd Aktivis Pendidikan Kota Bandung./ist

Hal tersebut bisa diindikasikan bahwa masyarakat remaja Indonesia saat ini sedang mengalami gejala degradasi moral. Degradasi moral ini menjadi pertanda kemunduran, kemerosotan atau penurunan akhlak / budi pekerti .

Berbagai persoalan lain muncul dan menjadi trending topic di berbagai media, seperti hadirnya kasus siswa yang melawan gurunya sampai berani menganiaya gurunya sendiri bahkan sampai meninggal.

Potret orang tua yang dengan sigap melampiaskan emosinya kepada guru akibat sebuah tindakan seorang guru yang tidak bisa diterimanya.

Bahkan sampai hadirnya kasus tuntutan berupa gugatan denda akibat seorang guru meminta para siswanya untuk shalat berjamaah pun menjadi cerita menyedihkan tentang carut marut wajah ruang pendidikan kita. Rasa hormat terhadap guru dan lembaga pendidikan pun seolah-olah dikesampingkan.

Baca Juga: SMA Terbaik di Kabupaten Wonogiri, 3 Sekolah Ini Menjadi Unggulan Nasional di Jawa Tengah Versi LTMPT

Ini menjadi pertanda bahwa upaya membangun komitmen antara orang tua dan satuan pendidikan belum terbangun dengan baik termasuk adanya suasana saling mengerti.

Keluarga sebagai sekolah utama dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan moral/akhlaq para peserta didik.

Penanaman nilai-nilai baik termasuk sopan santun, etika, akhlak dan budi pekerti sepantasnya dibangun dan dikembangkan di lingkungan keluarga.

Selain itu orang tua harus berani melepaskan sebuah anggapan bahwa pendidikan bagi anak-anaknya merupakan tanggung jawab sekolah saja.

Sekolah sebagai lingkungan kedua setelah rumah memegang peranan strategis dalam pembentukan pribadi peserta didik melalui pelayanan maksimal baik itu bimbingan, pengajaran dan pelatihan termasuk dalam rangka peserta didik menemukan jati diri dan potensinya.

Baca Juga: Monaco Rebut Puncak Klasemen dengan Kemenangan Atas Metz dengan Skor 2-1

Begitupun yang berhubungan dengan penguatan potensi akhlak, moral, spiritual, emosional, sosial dan kecakapan ekologis.

Namun pada kenyataannya ruang pendidikan belum mampu mencapai produktivitas tinggi dalam melahirkan peserta didik yang memiliki kualitas dan kompetensi akhlak/moral yang sesuai harapan.

Tidak sedikit para pendidik hanya mengejar target kurikulum yang berisi capaian-capaian teoritis akademis yang berujung pada simbol-simbol angka.

Ada alasan lain tentang bagaimana kuatnya cengkraman tuntutan kurikulum yang bahkan tanpa disadari melemahkan independensi para pendidik.

Sementara itu anggapan orang tua yang merasakan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab sekolah semakin menjadikan target pembentukan karakter akhlak/moral peserta didik jauh dari harapan.

Ditambah lagi hampir semua orang tua siswa senantiasa menjadikan simbol-simbol angka sebagai bukti kualitas pendidikan, sehingga anak yang nilainya rapotnya baik dianggap menjadi anak yang memiliki kelengkapan kecerdasan.

Baca Juga: Gaza: Serangan Bombardir Israel Nonstop Ancam Kerusakan Rumah Sakit Indonesia dan Israel Ancam Bom RS

Faktor lain yang turut mempengaruhi perkembangan mental peserta didik adalah hadirnya teknologi yang dikemas dalam bentuk gadget dengan sebanyak-banyaknya informasi dan aplikasi.

Termasuk aneka games yang meninabobokan anak-anak dalam ruang kesendirian telah turut andil menjadikan para anak ke pusaran generasi yang mudah emosi, sering membangkang, kurang disiplin, malas dan egois.

Seperti kita maklumi bersama sejumlah efek psikologis atau mental akibat seseorang kecanduan terhadap gadget di antaranya menjadi lebih mudah marah dan panik, stres berlebihan, sering merasa kesepian karena kurang bersosialisasi dengan orang lain dan meningkatkan risiko gangguan cemas dan depresi serta tidak jarang yang bersangkutan menirukan tingkah laku dalam gadget.

Semua masalah ini sejatinya menjadi bahan introspeksi semua pihak untuk terus mengembangkan jalinan komunikasi yang baik dan menetapkan parameter konsep mendidik yang dapat dipahami bersama sehingga setiap ruang gerak peserta didik yang tidak kita harapkan dapat lebih mudah disikapi dan dicari solusinya secara bijak.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler