Quo Vadis Pendidikan Indonesia? Kisruh PPDB Masalah Bersama

- 20 Juli 2023, 13:35 WIB
Syabar Suwardiman, M.Kom
Syabar Suwardiman, M.Kom /

 

GALAMEDIANEWS- Intisari pendidikan adalah kejujuran. Oleh sebab itu berbagai bentuk kecurangan dalam proses belajar sangat diharamkan.  Masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Berkaitan dengan kejujuran, ada dua peristiwa yang penulis alami sebagai guru,  seorang ayah yang datang ke kepala sekolah meminta agar nilai anaknya rata-rata di atas 7, ayah tadi ingin anaknya bisa masuk ke Akmil Angkatan Laut. Bagaimana jadinya jika ia kemudian diterima dan menjadi perwira? Menjadi prajurit adalah tentang integritas dan daya juang. Penulis yakin Akmil memiliki sistem seleksi yang ketat, tetapi saringan pertama adalah tentunya sekolah dulu.

Kedua, saat seorang Ibu yang ingin anak gadisnya menjadi seorang dokter.  Dia meminta agar nilai anaknya bisa di atas rata-rata agar bisa ikut seleksi sekolah kedokteran. Pertanyaan yang sama bagaimana jadinya saat sudah menjadi dokter?  Pembelajaran di sekolah kedokteran juga ketat, tetapi jangan-jangan setelah menjadi dokter hanya sebagai gengsi gelar dan mengejar pasien sebanyak mungkin.

Pendidikan adalah Ibu kandung kehidupan.  Ibu kandung kehidupan berbangsa dan bernegara.  Kisah klasik bangsa Jepang layak senantiasa diulang.  Sehabis kalah perang yang pertama kali ditanyakan berapa jumlah guru yang masih ada?  Dalam waktu singkat Jepang berevolusi menjadi bangsa modern dan maju secara teknologi. Demikian pula dengan Korea Selatan.

Pendidikan kita masih berkutat pada perebutan kursi. Saat sistem seleksi dengan tes tertulis maupun zonasi. Hanya berubah bentuk perebutan. Sementara orang orang pintar Indonesia memilih pindah kewarganegaraan, hampir 1000 orang pertahun. Ketika pendidikan dianggap sebagai elevator gengsi dan perubahan nasib, maka semuanya terjebak pada sistem lama yang berubah baju, feodalisme.  Gelar akademik hanya sebagai pengganti gelar kebangsawanan.  Ada yang kalau sedang marah di masyarakat, saya ini Profesor. Sementara masalah pendidikan adalah masalah mengajarkan respek dan sebaliknya.

Maka gelar gengsi baru ini diburu dan dipertaruhkan.  Terkadang melanggar aturan dan yang paling parah mengambil hak orang.  Dalam sistem zonasi penduduk yang bertahun tahun tinggal di dekat sekolah tersisih oleh orang orang yang punya uang.  Dalam siaran sebuah televisi bahkan ada orang tua yang kecewa dan mengukur jarak sekolah dari rumahnya dengan meteran manual. Inilah potret pendidikan kita.

Baca Juga: Hardiknas 2023:  Tetap Optimis di Tengah Berbagai Tantangan Pendidikan

Semua tentang Uang

Kalau kita membaca berbagai laporan, motif kecurangan dilandasi dengan motif uang. Hukum ekonomi berlaku.  Kursi terbatas dan favorit sementara permintaan tinggi, maka harga akan tinggi.  Inilah potret sekolah negeri, kursi terbatas, permintaan tinggi, maka melahirkan calo calo pendidikan yang menjanjikan kursi.  Harga untuk penerbitan KK dalam sistem zonasi bisa mencapai jutaan, semakin sekolahnya favorit semakin mahal harga tumpangan domisili di KK terdekat sekolah.

Ternyata kecurangan juga terjadi saat masuk Perguruan Tinggi melalui jalur mandiri.  Sudah dua rektor tertangkap tangan Rektor Unila dan Rektor Udayana karena jual beli kursi.  Kemudian jalur rapor atau prestasi yang diolah sekolah ternyata juga ada indikasi permainan uang. Ketika seorang anak ingin lolos dalam kuota 40% yang diajukan sekolah untuk jalur rapor ke PTN rankingnya bisa diubah tentunya dengan pelicin.

Kuota rapor tadinya 50% dari jumlah siswa yang ada di sekolah. Kuota ini untuk sekolah dengan akreditasi A. Rupanya panitia seleksi PTN sudah membaca ini, berdasarkan prestasi ketika studi di Perguruan Tinggi.  Mahasiswa yang prestasinya bagus ternyata yang berasal dari jalur seleksi (sekarang SNBT). Kuotanya kemudian diturunkan menjadi 40% dan diperbesar di jalur seleksi tulis. 

Halaman:

Editor: Lina Lutan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x