Bukan Cuma Di Indonesia, 8 Negara Ini Miliki Sejarah Kelam Pelaksanaan Pemilu

16 Februari 2024, 21:40 WIB
Ilustrasi pemungutan suara. /pixabay/@RGY23/

GALAMEDIANEWS – Pemilu telah selesai dilangsungkan pada Rabu, 14 Februari 2024. Namun, setelah adanya Quick Count justru banyak pihak yang menilai adanya indikasi kecurangan yang dilakukan salah satu paslon. Hingga adanya bukti penggelembungan suara yang dilakukan.

Namun, taukah bahwa bukan hanya di Indonesia kecurangan itu terjadi, tapi di negara lain juga mengalami hal yang sama sampai ada yang ditangkap dan tewas. Negara mana sajakah yang terdapat kecurangan pemilu. Hingga segala cara dilakukan demi untuk memenangkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden dan membuat lawannya menjadi kalah suara.

Dikutip dari laman Worldatas dengan judul "Most Rigged And Corrupt Elections In Modern World History,yang mana menjelaskan mengenai kecurangan pemilu pada abad ke 21, yang dimulai sejak Zaman Nazi Jerman sampai Afrika – Sub Sahar. Maka inilah 8 negara yang telah melakukan kecurangan saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden:

1. Turki
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden selalu dilakukan pada tanggal 7 Juni. Namun, pada tahun 2015 ternyata terdapat 4 partai politik besar disana yang memiliki perolehan suara yang bervariatif. Dari 4 partai itu, ada partai yang berkuasa yakni Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang mendapatkan sekitar 40,9%.

Baca Juga: GudRnD Ubah Bekas APK Pemilu Jadi Bermanfaat daripada Jadi Sampah

Sedangkan partai lain yakni Parta Rakyat Republik (CHP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP) dan Partai Demokrasi Rakyat (HDP) justru memilih suara lebih rendah, sehingga memicu kontroversi dan menuduh Preside Turki kala itu yakni Recep Tayyip Erdogan telah berencana untuk melakukan penipuan pemilu dan melakukan penyimpangan.

Penyimpangan partai AKP milik Erdogan itu diantaranya seperti penggunaan sumberdaya, data pemilih yang keliru, bias media dan intimidasi. Tuduhan ini sampai menyebabkan adanya kekeras politik dan vandalisme terutama terhadap properti para paslon.

Dewa Pemilihan Agung dituduh pula telah mencetak surat suara yang berlebih.  Pada 3 Juni 2015, Volunteer Election Monitoring Group kelompok pemantau pemilu mengklaim bahwa keempat partai tersebut telah mencatat suara tambahan yang mengarah pada kekeras politik di seluruh negeri.

Baca Juga: Hitung Cepat atau Quick Count, Bukan Resmi Hasil Pemilu

Hasil pemilu saat itu memicu komposisi kursi parlemen menjadi menjadi jomplang dengan perolehan suara yakni AKP 40,9%, CHP 25%, MHP 16,3%, dan HDP 13,1%. AKP saat itu mendukung pemilu dini yang diadakan pada 1 November 2015.

2. Rumania

Pemilihan Presiden di Rumnia 2014 diadadakan dalam dua putaran. Terlihat pada putaran pertama diadakan pada 2 November 2014, dengan sebanyak 14 capres dan cawapres hanya dua paslon saja yang lolos ke putaran kedua karena keduanya tidak memperoleh suara lebih dari 50%.

Kedua paslon itu yakni Victor Ponta dari Partai Sosial Demokrat dan Klaus Iohannis dari Partai Liberal Nasional (PNL). Pemilu putaran kedua di negara itu diadakan pada 16 November 2014, dimana akhirnya MK telah mengesahkan kalau Klaus Iohannis terpilih sebagai presiden.
 
Namun, setelah diumumkannya sebagai Presiden, rakyat pada memprotes dimana para penduduk Rumania yang tinggal diluar negeri menyatakan ketidakpuasan dengan proses pemungutan suara dan menuntut perpanjangan proses pemilu sampai pukul 21.00 waktu setempat.

Baca Juga: Pasang Foto Nyeleneh di Surat Suara Pemilu 2024, Perolehan Suara Komeng Capai 8.51%

Alangkah terkejutnya ketika adanya hasil akhir, jika Ponta justru menjadi presiden favorit warga Rumania sebelum pemilihan diperpanjang lewat pukul 21.00 malam. Hasil akhir dipandang sebagai kejutan karena Ponta adalah kandidat presiden favorit sebelum pemilihan presiden putaran kedua.

Sehingga banyak yang beranggapan para pemilih disana telah disuap dengan adanya distribusi makanan kepada lebih dari 6.5 juta orang selama masa kampanye. Wakil Victor Ponta dituduh telah membujuk para pemilih secara ilegal di Moldova untuk memilih dirinya. Para pemilih Diaspora di Paris, London, New York, dan  Madrid melakukan protes setelah pemungutan suara itu dilakukan.

3. Kenya

Lain halnya dengan Kenya, kekisruhan pemilu itu terjadi pada 27 Desember 2007 ketika memilih Presiden, Anggota Parlemen, dan Dewan Lokal.  Pemilihan Presiden itu menjadi unjuk penampilan antara Kibaki dan pemimpin oposisi Raila Odinga.

Pemilu itu diserta kekisruhan perbedaan etik, dimana Kibaki memimpin Kikuyu yang dominan, sedangkan Raila menciptakan basis yang lebih luas lagi dengan menyatukan 5 suku besar di Kenya. Meskipun, telah diketahui Raila Odinga memiliki banyak pendukung di seluruh negara. Namun, anehnya justru Kibaki yang malah dinyatakan sebagai pemenang dengan mendapatkan 46% suara.

Sedangkan, Raila justru mendapatkan perolehan suara lebih rendah yakni 44%. Hanya saja beruntungnya, partai Raila Odinga memenangkan perolehan suara mayoritas di Majelis Nasional dan Parlemen. Namun, beda hal dengan pendukungnya merasa tak terima dengan hasil pemilu sebab Raila Odinga sebenarnya mendapatkan suara ternyata di 6 sampai 8 provinsi.

Tak memedulikan keprotesan pendukung Raila Odinga, Kibaki tetap dipilih menjadi Presiden pada 30 Desember 2007. Sehingga muncul demo sesaat setelah hasil pemilu diadakan dan memicu bentrokan etik. Sungguh tragedi, kejadian itu sampai menewaskan sekitar 1.300 orang 600.000 orang sampai kehilangan tempat tinggal mereka.

4. Uganda

Kekisruhan demo di Uganda terjadi pada 23 Februari 2006. Saat Presiden di negara tersebut yakni Yoweri Musevenni mencalonkan diri untuk kedua kalinya sebagai Presiden melalui Gerakan Perlawanan Nasional (NRM). Ia bersaing dengan Kizza Besigye dengan menjalankan Forum Perubahan Demokrasi  (FDC).

Pemilu tersebut dimenangkan oleh Musevenni dengan perolehan suara sekitar 59% dan partainya juga berhasil memengkan kursi parlemen. Sementara Besigye kalah saing dan hanya memperoleh 37%.

Namun anehnya, 4 bulan setelah proses pemilu, Besigye ditangkap atas tuduhan pengkhianatan. Penangkapan itu sampai membuat kekerasan dan kerusuhan di Uganda, sebab banyak warga yang tak merasa ditangkapnya Besigye. Pemilu di negara tersebut alhasil memicu kontroversi, dimana para pemerintah dituduh mengintimidasi para pemimpin oposisi.

5. Serbia

Pemilu di Serbia memicu 2 kali kontroversi yakni pada tahun 1996 dan 2000. Dimana pemilu serbia diadakan pertama kali pada tanggal 3 dan 16 November 1966. Pemilu itu dimenangkan oleh koalisi Partai Sosialis Serbia di Parlemen Federal.

Namun, para pihak oposisi melakukan unjuk rasa karena adanya kecurangan yang telah dilakukan oleh Presiden Slobodan Milosevic. Kemudian, pemilu yang dilakukan pada 24 September 2002, merupakan pemilu bebas pertama di negara itu yang dilangsungkan sejak tahun 1992.

Hasil awal pemilu menunjukkan, jika Vojislav Kostunica dari Kubu Partai Demokrat lebih unggul dari Slobodan Milosevic dari partai Pertahanan. Kendati demikian, perolehan suara kandidat oposisi kurang dari 50,01% dan sesuai dengan aturan pemilu dilakukan putara kedua.

Kendati demikian, Vojislav justru merasa tak terima dan merasa lebih unggul dan telah melampui ambang batas perolehan suara yang telah disyaratkan sebagai pemenang dalam pemilu tersebut.

Unjuk rasa kemudian dilangsungkan dan pendukung Vojislav memaksa Milosevic untuk mengundurkan diri pada 7 Oktober 2000 dan mengakui telah kalah. Hasil pemungutan suara kemudian direvisi kembali dan membuktikan klaim pernyataan Vojislav memang benar adanya.

6. Filipina

Pemilu Filipina saat itu dibawahi oleh Ferdinand Marcos yang mana sebelumnya telah menjadi politisi yang memerintah negara itu dari tahun 1965 hingga 1986. Ia memerintah seperti layaknya diktator yang marak terjadi korupsi dan kebrutalan. Ia membuat negara itu menjadi status darurat militer pada tahun 1972, membungkam media dan menggunakan kekerasan terhadap pihak oposisi.

Dengan terpilihnya Ferdinand Marcos pada tahun 1965 dan 1969 sebagai presiden ke 10 Filipina akan memunculkan kediktatorannya kembali. Kala itu pihak lawannya yakni Lakas ng Bayan tidak memenangkan kursi parlemen meski kemenangan rasanya berada di depan mata.

Pihak oposisi yang memboikot pemilu pada tahun 1981 kembali memengkan Ferdinand Marcos sebagai Presiden dengan perolehan 16 juta margin suara. Kemudian, pada pemilu tahun 1986, warga Filipina akhirnya bersatu dengan Corazon Aquino yang mengepalai United Nationalist Democratic Organization.

Namun, komisi pemilihan penyatakan Marcos kembali memenangkan pemilu daripada Aquino dan unggul lebih dari 700.000 suara.

Secara serentak, Aquino, para pendukungnya,dan para pengamat Internasional menolak langsung hasil pemilu yang mengarah ke revolusi dan memaksa Marcos lengser jabatan dan terpaksa ia harus mengundurkan diri dari jabatannya. Ia kemudian mengasingkan diri pada tahun 1986.

7. Rumania

Pemilu Rumania yang dipicu kekisruhan terjadi pada 19 November 1946 dengan hasil yang mana menunjukkan kemenangan pada Partai Komunis Rumania dan sekutunya yakni BPD.

BPD telah memenangkan perolehan mayoritas kursi di parlemen sebanyak 384 suara. Namun, para komentator politik menilai adanya indikasi kecurangan karena BPD menang karena melalui intimidasi dan malpraktik pemilihan.

Banyak peneliti yang telah mengklaim, jika partai itu menang dengan perolehan suara sekitar 48% dan bukan seperti hasil yang diumumkan yakni sekitar 80% sehingga tidak memenuhi persyaratan yang telah diatur oleh Pemerintah.

Pemilu pada tahun 1946 disamakan dengan pemilu yang terindikasi kecurangan seperti yang diadakan pada akhir perang dunia II dimana negara yang membentuk Blok Timur melakukan hal yang sama. Pemerintah Inggris kala itu menolak mengakui hasil pemilu tersebut.

8. Jepang

Ternyata di negara Sakura juga pernah mengalami hal serupa, hal ini terjadi pada tahun 2014 dilakukan oleh 2 menteri yakni Menter Industri, Obuchi, dan Menteri Kehakiman, Matsushima di era Perdana Menteri Abe Ahinzo. Jika mereka telah membayar para pendukungnya.

Hal ini dilakukan agar mereka menang oposisi. Ditambah lagi dengan adanya tuduhan lain, jika mereka menggunakan dana politik untuk membeli kebutuhan mereka. Akhirnya mereka memilih untuk lengser jabatan sebagai Menteri.

Kasus serupa juga terjadi dna dilakukan oleh Menteri Perdagangan, Sugawara pada tahun 2918, ia memberikan sumbangan berupa uang, buah, makanan, dsb ke salah satu pemilih I dapilnya. Padahal dengan jelas berdasarkan UU Pemilu Jepang, hal ini dilarang untuk dilakukan dan membuatnya lengser jabatan.***

Editor: Heriyanto Retno

Sumber: Instagram @cettajapanese Worldatas

Tags

Terkini

Terpopuler