Khutbah Idul Adha 1443 Hijriyah Pendek dan Singkat: Bicara Soal Makna Kurban dan Hikmahnya

- 3 Juli 2022, 13:32 WIB
Khutbah Idul Adha 1443 Hijriyah Pendek dan Singkat: Bicara Soal Makna Kurban dan Hikmahnya
Khutbah Idul Adha 1443 Hijriyah Pendek dan Singkat: Bicara Soal Makna Kurban dan Hikmahnya /Pixabay

GALAMEDIA - Berikut khutbah Idul Adha 1443 H pendek dan singkat tentang makna sejati kurban dan hikmahnya.

Kita telah memasuki bulan Dzulhijjah sehingga sebentar lagi akan merayakan hari raya Idul Adha 1443 H.

Bulan Dzulhijjah adalah bulan yang dimuliakan Allah di mana amal shaleh yang dikerjakan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dinilai sebagai amal shaleh paling utama.

Baca Juga: J-Hope Rilis Lagu Teranyar, Ini Lirik Lengkap Lagu More

Terdapat anjuran untuk melaksanakan puasa mulai dari tanggal 1 hingga tanggal 9 Dzulhijjah.

Tepat pada 10 Dzulhijjah ketika Idul Adha tiba, umat muslim dianjurkan untuk tidak makan sebelum selesai menunaikan ibadah sholat id.

Sehingga, di hari kesepuluh itu tetap bernilai pahala puasa meski sebenarnya hanya menahan makan dan minum sampai usainya sholat Idul Adha.

Baca Juga: Harga Xiaomi Redmi 10A Terbaru dan Spesifikasi di Indonesia

Berikut ini adalah khutbah Idul Adha 1443 H pendek dan singkat tentang makna sejati kurban dan hikmahnya.

Khutbah Idul Adha 1443 H

Pada hari ini, kita telah sampai pada tanggal 10 Zulhijjah. Pada hari ini terdapat peringatan dan perayaan yang penting bagi umat Islam, yaitu Idul Adha dan ibadah kurban.

Tentunya sudah selayaknya bagi kita untuk bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kepada kita umur panjang sehingga bisa sampai lagi pada bulan Dzulhijjah ini dan mendirikan shalat Idul Adha serta mengikuti penyembelihan hewan kurban.

Terkait ibadah kurban, kita tentunya merujuk pada tragedi yang pernah terjadi di masa lampau, yakni kisah Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as.

Baca Juga: Deva Mahendra Resmi Gabung dengan Ikatan Cinta Jadi Tokoh Sal, Lawan Main Baru Amanda Manopo

Di dalam Al-Quran disebutkan, justru kata 'qurban', seperti dalam ayat idz qorrobaa qurbaanan, itu di-blow up sebagai pembahasan pada kurban yang disajikan oleh Qabil dan Habil, yakni tentang kurban manakala yang diterima oleh Allah.

Sementara itu, peristiwa yang menimpa Nabi Ismail as itu menggunakan bahasa dzabh.

Nabi Ibrahim as. sendiri yang menggunakan bahasa tersebut (innii adzbahuka). Allah sendiri di dalam mengganti Nabi Ismail as menggunakan bahasa dzibh, ‘adziim.

Menurut pendekatan filologis, bentuk masdar yang menggunakan gaya bahasa tembahan (ziyadul alf dan wa nun) itu bermakna mubalaghoh.

Baca Juga: Spesifikasi dan Harga Samsung Galaxy A03 Core Paling Murah

Lafad qurb yang berarti dekat, merupakan bentuk masdar yang menggunakan gaya ortodoks biasa, akan menjadi bermakna lebih hebat jika ditambahi dengan alif dan nun menjadi kurban, yang berarti sangat dekat.

Sama dengan bahasa kurban yang berarti bukan sekedar bacaan, tetapi bacaan sungguhan.

Dengan begitu, kurban berarti dekat sungguhan. Contoh lain; ghufron, diampuni sungguhan; shulhaan, damai sungguhan; syaithon, brutal sungguhan, dan seterusnya.

Untuk itu, teks yang ada menunjukkan bagaimana degan itu terjadi. Padahal kurban–kurban di sekitar situ telah menjadi tradisi, utamanya di daerah-daerah sekitar suku Jurhum, yakni kabilah Nabi Ismail as.

Baca Juga: Harga Samsung Galaxy A03 dan Spesifikasi Juli 2022

Oleh karenanya, kurban tidak lagi cukup dengan menyembelih kambing, melainkan kurban manusia. Itulah yang dimaksud kurban sungguhan.

Saya ambil contoh beberapa tradisi manusia waktu itu. Di Mesir, ada tradisi penyembahan dewa yang hebat.

Oleh karena itu, kurban dipilih sesuai yang disenangi oleh dewa itu sehingga dalam tradisi Mesir, kurban dipilihkan yang terindah.

Sementara itu, yang terindah itu adalah gadis, sehingga sebelum ada hari raya pengurbanan itu, ada seleksi seperti pemilihan miss universe khusus Mesir untuk memilih gadis tercantik.

Baca Juga: Timnas Indonesia U-19 Incar Kemenangan Lawan Brunei, Shin Tae-yong: Kami Pikirkan Buat Banyak Gol

Gadis tercantik yang terpilih inilah yang akan di-qurban-kan. Hal itu dikarenakan oleh persepsi teologisnya bahwa Tuhan itu indah.

Contoh lain; di Irak. Karena Irak merupakan negeri para zuhud, maka dipersiapkan gabungan antara filosofis zuhud dengan ajaran suci atau ajaran yang sangat bersih seperti bayi.

Dengan begitu, pandangan persembahan terhadap dewa sebagai Tuhan yang diyakini adalah manusia yang masih bersih, belum ternodai apa-apa.

Dalam hal ini, bayi yang di-qurban-kan karena inilah yang dianggap dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tidak sama dengan di Skandinavia. Di sana, terdapat filosofis murni dan sufistik yang mengerucut sehingga pandangan terhadap kesucian di hadapan dewa yang diyakini adalah ketinggian proses spritual.

Baca Juga: Timnas Indonesia U-19 Incar Kemenangan Lawan Brunei, Shin Tae-yong: Kami Pikirkan Buat Banyak Gol

Siapa yang tingkat spritualnya tertinggi itulah yang layak jadi kurban dan langsung masuk ke surga. Maka yang di-qurban-kan adalah orang-orang shalih.

Berbeda lagi dengan kaum Nabi Ismail as, yang kabilah Jurhum. Mereka tidak terikat dengan hal-hal tersebut. Yang penting manusia, itu bisa di-qurban-kan.

Tradisi semacam ini sesungguhnya di mata Allah terlalu besar hitungannya dan menyalahi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga perlu dikoreksi.

Allah tidak bisa diberi sesajen berupa nyawa manusia karena hal itu merupakan kebrutalan, sementara Allah sendiri itu Maha Pengasih dan Penyayang.

Baca Juga: Harga Cabai Melambung Hingga Rp70.000 per Kilogram, Petani Cabai di Sumedang Sumringah

Akan tetapi, mengapa Allah tidak langsung mewahyukan kepada Nabi Ibrahmi as. untuk menyembelih kambing saja sebagai bentuk kurban?

Mengapa harus dengan ujian-ujian yang bersifat dramatis?

Mengapa setelah adanya kepatuhan dari keduanya baru diganti dengan dzibhin ‘aziim?

Jawabannya adalah untuk mengoreksi diri.

Tradisi-tradisi yang salah pada saat itu sangat sulit diubah. Tidak mudah mengubahnya dengan hanya menggunakan kata-kata, melainkan harus dengan ‘amaliyah yang sangat fenomenal.

Tokoh tua yang diperankan oleh Nabi Ibrahim as dan tokoh muda yang diperankan oleh Nabi Ismail as sangat cocok.

Nabi Ismail as yang menurut sebagian tafsir berumur 13 tahun, diberi penghargaan yang tinggi oleh Allah terhadap sifatnya.

Nabi Ismail as adalah anak yang bersifat ‘alim, pintar, cerdas, dan tingkat intelektualnya tinggi.

Halaman:

Editor: Mia Fahrani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x