Pada saat itu hanya diproduksi mandiri untuk dibagikan ke keluarga dan tetangga terdekat saja, perlahan kuliner ini mulai populer.
“Beberapa kali percobaan, akhirnya, jadilah komposisi yang disebut wajit. Setelah dicoba rasanya enak, mulai diproduksi sendiri, lalu dibagikan ke keluarga dan tetangga," ujar Syamsul.
Akhirnya mulai 1916 sampai 1920, wajit semakin populer.
Syamsul mengatakan, makanan yang terbuat dari ketan, gula aren, kelapa dan dibungkus oleh daun jagung kering ini awalnya diberi nama “Wajik”, karena menurut orang Jawa makanan tersebut ada kesamaan antara komposisi dan rasa.
“Pada suatu waktu ada orang Jawa yang mencicipi makanan ini dan saat itu belum tau namanya. Orang jawa itu bilanglah gini, di daerah saya makanan ini yang terbuat sama bahannya disebut wajik," kata Syamsul.
Ia melanjutkan, pada akhirnya makanan ini disebut “Wajit” bukan “Wajik” karena berbedanya pelafalan berbicara antara orang Sunda dan Jawa.
“Namun karena pelapalan orang Sunda sama orang Jawa beda, yang asalnya wajik jadi wajit. Nah makanan yang dibuat oleh Ibu Uti dan Juwita ini jadi wajit namanya,” ucapnya.
Karena banyak disukai masyarakat, akhirnya wajit mulai dipasarkan secara komersial pada tahun 1936 oleh Irah atau Hj. Romlah yang merupakan anak dari Juwita.
“Ibu Irah dari 1920 sudah pintar membuat wajit karena suka ikut membantu ibunya. Tahun 1936 ternyata wajit itu banyak disukai dan semakin banyak ada di kegiatan acara masyarakat Cililin, pada 1936 wajit resmi komersil dijual secara luas,” tuturnya.