Hari Santri Nasional: Sarung dan Santri Seperti Layaknya Pasangan dan Identitas Kebangsaan

- 22 Oktober 2020, 10:51 WIB
Wakil Bupati Garut Helmi Budiman memimpin upacara Hari Santri Nasional 2020 di lapangan Setda Garut.
Wakil Bupati Garut Helmi Budiman memimpin upacara Hari Santri Nasional 2020 di lapangan Setda Garut. /Muhammad Nur/

Baca Juga: Hari Santri Nasional: Refleksi Sejarah Kiyai dan Santri dalam Perjuangannya Melawan Penjajah

Empowering terhadap kelas priyayi ini menjadikan mereka sebagai counter balance ide-ide agama Islam di tengah masyarakat. Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban Eropa, semakin mengukuhkan kebudayaan barat sebagai superior daripada kebudayaan pribumi.

Ditambah lagi, tidak sedikit para elit pribumi yang bersekolah ke Eropa dalam hal agama tetap setia memeluk agama Islam. Maka tak urung, syiar Islam mengelami tekanan yang luar biasa pada awal abad ke-20 ini.

Baca Juga: 22 Oktober: Sastrawan Keluarkan Manifesto Hingga Peringatan Hari Santri Nasional
Dalam kerangka ini, sarung menjadi pembeda yang khas. Meski pada oleh para peneliti barat “kaum saruangan” dilekatkan dengan stereotype kampungan, tradisional dan jumud, namun kaum santri tetap konsisten menjadikan sarung sebagai simbol kebangsaannya.

Stereotype ini tidak hanya dibuat oleh para peneliti barat, tapi dipakai juga sebagian masyarakat di Indonesia untuk mendefinisikan kaum santri. Bahkan hal ini masih terus berlangsung hingga masa pasca kemerdekaan.

Baca Juga: Hari Santri, Rumah Zakat Berkomintmen Jaga Agar Santri Tetap Sehat
Tapi di masa penjajahan, stereotype pernah dijungkirbalikkan oleh HOS Tjokroaminoto yang dikenal sebagai “guru semua guru bangsa”.

Ketika sarung dianggap sebagai simbol keterbelakangan – busana kampung yang membedakannya dengan elit.

Sehingga sarung dilarang penggunaan di sekolah-sekolah negeri, karena merupakan pakaian rakyat jelata dan oleh sebab itu tidak memiliki hak mengenyam pendidikan ala Eropa – seorang ningrat bernama Tjokroaminoto justru melakukan hal sebaliknya.

Ia justru berpoto dengan menggunakan setelan lengkap; sarung, jas tutup, peci, dan sandal. Beliau berpose dengan sorot mata yang menantang, dengan kaki kanan diletakkan di lutut kiri – satu pose yang umum dijumpai dalam poto-poto kaum elit bangsa Eropa. Seorang Jawa tradisional tidak duduk dengan cara semacam itu.***

 

Halaman:

Editor: Hj. Eli Siti Wasilah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x