Hari Santri Nasional: Sarung dan Santri Seperti Layaknya Pasangan dan Identitas Kebangsaan

- 22 Oktober 2020, 10:51 WIB
Wakil Bupati Garut Helmi Budiman memimpin upacara Hari Santri Nasional 2020 di lapangan Setda Garut.
Wakil Bupati Garut Helmi Budiman memimpin upacara Hari Santri Nasional 2020 di lapangan Setda Garut. /Muhammad Nur/

GALAMEDIA - Hari ini, 22 Oktober 2020 diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Kaum santri identik dengan sarung. Sejak ditetapkan sebagai Hari Satri Nasional pada 2015 lalu, setiap 22 Oktober pegawai pemerintahan dan BUMN menggunakan sarung saat bekerja.

Ini sebagai pernghormatan kepaa santri dan momentum memeperingati Hari Santri Nasional. Secara umum, seperti dikutip galamedia dari laman ganaislamika.com, sarung merupakan busana berupa kain persegi empat yang berukuran lebar.

Baca Juga: Hari Santri Nasional 2020, ASN dan Pegawai BUMD Hari Ini Pakai Busana Muslim

Sehingga dapat penutupi sebagian besar anggota tubuh. Terkait modelnya, ada yang hanya ditenun lalu dikenakan dengan cara dililitkan ke tubuh. Namun ada juga yang dijahit terlebih dahulu, sehingga berbentuk seperti tabung besar.

Jenis inilah yang umumnya disebut “sarung” di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Meski begitu, setelah dipakai, model busana ini akan terlihat sama di semua wilayah, yang membedakannya hanya design dan motifnya saja.

Baca Juga: Hari Santri Nasional 2020, ASN Ramai-ramai Pakai Busana Muslim
Selain sebagai busana tradisional, sarung juga adalah identitas kebudayaan di hampir semua daerah di Indonesia. Bahkan dalam beberapa fase zaman di nusantara, sarung menjadi simbol perjuangan melawan budaya barat yang dibawa oleh penjajah.

Busana ini melekat sebagai identitas kaum santri yang pada masa itu merupakan simpul gerakan rakyat di akar rumput. Kaum santri sendiri, meskipun identik dengan nuansa ke-Islaman, merupakan produk orisinil kebudayaan nusantara.

Mereka adalah perpaduan antara religusitas Islam, dengan kebudayaan khas nusantara. Busana yang identik dengan mereka adalah sarung (dari Yaman) dengan kombinasi baju koko, yang tidak lain adalah saduran dari busana khas bangsa China.

Dengan bahasa sederhana bisa dikatakan, santri dengan segenap atributnya merupakan ekspresi orisinal dari kejeniusan nusantara.

Baca Juga: Hari Santri Nasional: Sosok K.H. Hasjim Asy’ari dan Resolusi Jihad dalam Mengawal Kemerdekaan
Sarung dan kaum santri sudah seperti pasangan, lalu terjalin kelindan dengan nusantara dan Islam. Maka jadilah sarung satu simbol multi guna yang definisikan identitas kolektif, sosial-kebudayaan, dan politik masyarakat nusantara.

Ekspresi ini pernah muncul secara otentik ketika maka penjajahan kolonial Belanda. Bagi para santri, sarung adalah identitas diri yang membedakan mereka dari kaum abangan yang komitmennya terhadap kemerdekaan cenderung labil.

Tidak sedikit dari kaum abangan ini yang begitu mengagumi dan meniru budaya kolonial, sehingga diragukan nasionalismenya.

Munculnya konsep perlawnan budaya kaum santri tersebut tidak terlepas dari kondisi yang terjadi di paruh pertama abad 20.

Baca Juga: Hari Santri Nasional: Mengapa Harus Santri? Berikut Pemikiran Para Ahli

Atau ketika Snouck Hurgronye berhasil menerapkan strategi assosiasinya melalui program pemberian bantuan pendidikan yang bercorak barat kepada kelas priyayi.

Atas nama “politik balas budi” dan “politik asosiasi”, putra-putra pribumi dapat mengenyam pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi di Eropa. Tidak hanya sampai di sana, sepulangnya dari pengenyam pendidikan tersebut, mereka mendapat akses pekerjaan dan jabatan di pemerintahan.
Mereka akan menjadi pemimpin di negaranya sendiri, namun dengan konstruksi berpikir ala kolonial. Secara prinsip, program ini memang bertujuan untuk menarik alam pikir kaum priyayi ke dalam nalar dan metodologi berpikir ala Eropa.

Baca Juga: Hari Santri Nasional: Tema Tahun 2020 Santri Sehat Indonesia Kuat, Ini Logo dan Panduan HSN

Sehingga kelas priyayi akan secara langsung menjadi agen-agen kebudayaan dan politik barat di tanah jajahannya. Pada titik tertentu, disinilah tikungan awal terjadinya politik pecah belah (devide et empera).

Elit indonesia akan berhadap-hadapan langsung dengan rakyatnya. Konflik antar kelas akan terjadi di dalam internal bangsa Indonesia. 

Dengan cara ini, Snouck bermaksud untuk menjadikan kalangan priyayi (abangan) ini sebagai kelas yang meredam pengaruh kalompok agama (santri) di masyarakat.

Baca Juga: Hari Santri Nasional: Refleksi Sejarah Kiyai dan Santri dalam Perjuangannya Melawan Penjajah

Empowering terhadap kelas priyayi ini menjadikan mereka sebagai counter balance ide-ide agama Islam di tengah masyarakat. Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban Eropa, semakin mengukuhkan kebudayaan barat sebagai superior daripada kebudayaan pribumi.

Ditambah lagi, tidak sedikit para elit pribumi yang bersekolah ke Eropa dalam hal agama tetap setia memeluk agama Islam. Maka tak urung, syiar Islam mengelami tekanan yang luar biasa pada awal abad ke-20 ini.

Baca Juga: 22 Oktober: Sastrawan Keluarkan Manifesto Hingga Peringatan Hari Santri Nasional
Dalam kerangka ini, sarung menjadi pembeda yang khas. Meski pada oleh para peneliti barat “kaum saruangan” dilekatkan dengan stereotype kampungan, tradisional dan jumud, namun kaum santri tetap konsisten menjadikan sarung sebagai simbol kebangsaannya.

Stereotype ini tidak hanya dibuat oleh para peneliti barat, tapi dipakai juga sebagian masyarakat di Indonesia untuk mendefinisikan kaum santri. Bahkan hal ini masih terus berlangsung hingga masa pasca kemerdekaan.

Baca Juga: Hari Santri, Rumah Zakat Berkomintmen Jaga Agar Santri Tetap Sehat
Tapi di masa penjajahan, stereotype pernah dijungkirbalikkan oleh HOS Tjokroaminoto yang dikenal sebagai “guru semua guru bangsa”.

Ketika sarung dianggap sebagai simbol keterbelakangan – busana kampung yang membedakannya dengan elit.

Sehingga sarung dilarang penggunaan di sekolah-sekolah negeri, karena merupakan pakaian rakyat jelata dan oleh sebab itu tidak memiliki hak mengenyam pendidikan ala Eropa – seorang ningrat bernama Tjokroaminoto justru melakukan hal sebaliknya.

Ia justru berpoto dengan menggunakan setelan lengkap; sarung, jas tutup, peci, dan sandal. Beliau berpose dengan sorot mata yang menantang, dengan kaki kanan diletakkan di lutut kiri – satu pose yang umum dijumpai dalam poto-poto kaum elit bangsa Eropa. Seorang Jawa tradisional tidak duduk dengan cara semacam itu.***

 

Editor: Hj. Eli Siti Wasilah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x