Upacara Yadnya Kasada di Gunung Bromo Berlangsung Sejak Masa Majapahit, Apa Itu? Berikut Penjelasannya

- 20 Juni 2024, 14:08 WIB
Upacara Ritual Yadnya Kasada, Wisata Gunung Bromo Akan Ditutup Untuk Wisatawan
Upacara Ritual Yadnya Kasada, Wisata Gunung Bromo Akan Ditutup Untuk Wisatawan /ilustrasi/

Yadnya Kasada merupakan bagian penting dari identitas dan budaya masyarakat Tengger. Upacara ini tidak hanya menjadi sarana untuk mengungkapkan rasa syukur dan permohonan kepada Sang Hyang Widhi, tetapi juga menjadi ajang untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga Tengger.

Pelestarian Yadnya Kasada merupakan tanggung jawab bersama, baik masyarakat Tengger maupun pemerintah. Dengan menjaga dan melestarikan tradisi ini, kita dapat menjaga kekayaan budaya Indonesia dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang.

Baca Juga: Kawasan Gunung Bromo Ditutup Total Selama 4 Hari! Ini Penyebabnya

Upacara Adat Spesifik

Yadnya Kasada adalah upacara adat yang spesifik bagi masyarakat Hindu Tengger di sekitar Gunung Bromo. Masyarakat Hindu Bali memiliki tradisi dan upacara adat mereka sendiri yang berbeda. Meskipun sama-sama beragama Hindu, terdapat perbedaan budaya dan kepercayaan antara kedua kelompok ini.

Yadnya Kasada memiliki akar sejarah yang panjang dan diperkirakan telah dilakukan selama berabad-abad. Asal-usulnya terkait dengan legenda Roro Anteng dan Jaka Seger, yang diyakini sebagai nenek moyang masyarakat Tengger. Menurut legenda, pasangan ini memohon kepada Sang Hyang Widhi untuk dianugerahi keturunan. Permohonan mereka dikabulkan dengan syarat mereka harus mengorbankan anak bungsu mereka ke kawah Gunung Bromo.

Meskipun tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai awal mula Yadnya Kasada, tradisi ini diyakini telah dilakukan sejak zaman Majapahit atau bahkan lebih awal. Hingga saat ini, Yadnya Kasada masih terus dilestarikan oleh masyarakat Tengger sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi.

Korbankan Anak Bungsu

Berdasarkan legenda Roro Anteng dan Jaka Seger, pada awalnya yang dikorbankan adalah anak bungsu mereka sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi. Namun, seiring berjalannya waktu, praktik pengorbanan manusia dihentikan dan digantikan dengan sesaji berupa hasil bumi, ternak, dan berbagai persembahan lainnya.

Perubahan ini diperkirakan terjadi karena adanya pengaruh agama Hindu dan nilai-nilai kemanusiaan yang mulai berkembang di masyarakat Tengger. Pengorbanan manusia dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga digantikan dengan persembahan yang lebih simbolis.

Halaman:

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah