Hari Pahlawan: Kisah 'Puasa 40 Hari' Bung Tomo dan Istrinya, Karena Menikah Saat Masa Revolusi

- 3 November 2020, 12:55 WIB
Foto Pernikahan Bung Tomo
Foto Pernikahan Bung Tomo /Historia.id

GALAMEDIA - Hari Pahlawan tidak lepas dari kisah Bung Tomo. Sebab, ia merupakan salah satu tokoh dibalik pertempuran melawan penjajah di Surabaya pada 10 November yang dijadikan cikal bakal Hari Pahlawan.

Berikut sekilas kisah Bung Tomo seperti dikutip galamedia dari laman historia.id.

Di masa revolusi, para pemuda menempatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) di atas kepentingan diri sendiri. Revolusi menuntut pengorbanan segala-galanya, termasuk perkawinan sebagai “kenikmatan” pribadi. Tak heran jika mereka kerap jengkel melihat iklan-iklan perkawinan dan pertunangan di surat kabar.

Baca Juga: Hari Pahlawan di Tengah Pandemi: Berikut Ragam Acaranya yang Digelar Sesuai Protokol Kesehatan

“Mereka berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan bertentangan dengan sifat revolusi yang menjadi-jadi,” tulis Soe Hok Gie dalam "Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan".

Sorotan pun dialamatkan kepada Bung Tomo, tokoh pemuda dan penyulut semangat pertempuran Surabaya, ketika hendak menikah di masa revolusi. Muncul pro dan kontra. Ada yang menyayangkan mengapa Bung Tomo tidak konsekuen dengan janjinya untuk tidak menikah sebelum perjuangan selesai.

“Kami dapat menerima kekecewaan ini,” kata Sulistina dalam "Bung Tomo Suamiku, tetapi tak dapat menjelaskan secara pribadi apa yang menjadi pertimbangan pernikahan kami.”

Baca Juga: Hari Pahlawan: Selain Bung Tomo dan Hasyim Asy'ari Ini 3 Pejuang Dibalik Pertempuran 10 November

Sejatinya, Bung Tomo juga memiliki perasaan bersalah. Untuk itu, dia meminta izin dan persetujuan dari kelompok pemuda yang dipimpinnya, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).

Dalam iklan perkawinan Bung Tomo dengan Sulistina di Harian Boeroeh, 16 Juli 1947, pucuk pimpinan BPRI menyetujui perkawinan itu pada 19 Juni 1947, dengan perjanjian:

“Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk rakyat dan revolusi; meskipun perkawinan telah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan rakyat dapat dihalaukan.”

Iklan tersebut, menurut Soe Hok Gie, memperlihatkan Bung Tomo merasa berdosa karena perkawinannya dilangsungkan di tengah suasana revolusi.

Baca Juga: Hari Pahlawan, Ini Detik-detik Pertempuran Surabaya dan Semangat Rakyat Mempertahankan Kemerdekaan

Seolah-olah dia hanya mencari kenikmatan pribadi. Mereka kemudian berjanji tidak akan menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-istri sampai ancaman terhadap kedaulatan berakhir.

“Kami harus berjanji melaksanakan dengan patuh, syarat ini demi keselamatan negara,” kata Sulistina.

Menurut kepercayaan orang-orang tua, bila pemimpin pasukan atau negara menikah di masa perang, pantang baginya melakukan hubungan suami-istri selama 40 hari. Jika dilanggar akan ada medan perang yang dibobol musuh.

Baca Juga: Hari Pahlawan: Bentuk Perlawanan Rakyat Membela Republik yang Masih Muda, Ini Sejarah Lengkapnya


“Entah dari mana tradisi itu, namun demi keselamatan negara kami berjanji akan mematuhi,” kata Sulistina.

Bung Tomo pun meyakini kepercayaan tersebut dan meminta kepada istrinya, “Kita jalani puasa 40 hari ini ya. Demi keberhasilan perjuangan.” Sulistina mengangguk.

Akhirnya, masa puasa 40 hari itu berlalu. Sehari sebelumnya, Bung Tomo memberikan sebuah buku kepada istrinya: Kamasutra.***

Editor: Hj. Eli Siti Wasilah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x