Bertanya Bagaimana Mengeritik Tanpa Dipolisikan, Mantan Wapres JK Diajari Pihak Istana Soal Undang-undang

- 13 Februari 2021, 17:43 WIB
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. / Instagram/@jusufkalla



GALAMEDIA - Pihak Istana Kepresidenan merespons pertanyaan mantan Wakil Presiden (Wapres) RI Jusuf Kalla (JK) mengenai cara mengeritik pemerintah tapi tidak dipolisikan.

Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman mengatakan hal itu jawabannya ada di dalam sejumlah Undang-undang (UU).

"Masyarakat perlu mempelajari secara saksama," ujar Fadjroel dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 13 Februari 2021.

Disebutkan, salah satu UU yang harus dibaca adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Karena, di dalam pasal 28E ayat 3 menyatakan hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat bagi setiap orang.

Baca Juga: Hari Valentine Segera Tiba, Berikut Ini 10 Ucapan Hari Valentine yang Penuh Cinta

Ia mengatakan, pada Pasal 28J disebutkan mengenai kewajiban mengikuti pembatasan dalam menjalankan kebebesan berserikat, berkumpul dan berpendapat.

"Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain," tutur Fadjroel.

"Dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," sambungnya.

Kemudian, jika masyarakat ingin berpendapat melalui media digital atau dalam hal ini media sosial, diminta Fadjroel untuk membaca dan menyimak UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca Juga: Sebut Pelaporan Din Syamsuddin Tak Diproses, Mahfud MD: Beliau Kritis Bukan Radikalis

Dia menyebutkan ada ketentuan pidana di pasal 45 ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan; ayat (2) tentang muatan perjudian; ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Selain itu, Fadroel juga menyebutkan ketentuan pidana di dalam pasal 45a ayat (1) tentang perbuatan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen; dan ayat (2) tentang perbuatan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA.

"Lalu pasal 45b tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi," sambungnya.

Selain itu, Fadroel juga meminta masyarakat yang ingin menyampaikan kritik melalui unjuk rasa agar membaca dan menyimak UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Baca Juga: MEMPRIHATINKAN, Sumbangan Donatur ke Ribuan Panti Asuhan di Indonesia Anjlok 60 Persen

"Jadi apabila mengkritik sesuai UUD 1945 dan Peraturan Perundangan, pasti tidak ada masalah, karena kewajiban pemerintah/negara adalah melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak konstitusional setiap WNI yang merupakan Hak Asasi Manusia tanpa kecuali," katanya.

"Presiden Jokowi tegak lurus dengan Konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku," tandasnya.

Kualitas Demokrasi

Sebelumnya JK mengungkapkan jika kualitas demokrasi di Indonesia sedang mengalami penurunan.

“Dalam survei Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi di Indonesia sedang mengalami penurunan,” ujar JK yang dikutip Galamedia dari Kanal Youtube Partai Keadilan Sejahtera (PKS), @PKS TV, 13 Februari 2021.

“Tentu bukan demokrasinya yang turun, tetapi apa yang kita lakukan dalam demokrasi itu,” ujarnya menambahkan. Selain itu, JK mengungkapkan jika ada banyak hal yang belum sesuai dengan dasar demokrasi.

Baca Juga: Terbongkar!! Penambangan Liar di Sumedang Jadi Penyebab Banjir Dahsyat di Subang

“Dalam kehidupan berdemokrasi, setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” ujar JK.

Selain itu, JK juga menilai jika terdapat dua penyebab utama yang menyebabkan demokrasi tidak dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya. Pertama, demokrasi di Indonesia terlalu mahal.

JK mengungkapkan jika untuk menjadi pejabat pemerintah memerlukan banyak biaya sehingga menimbulkan mainset untuk segera mengembalikan biaya tersebut ketika mereka menjabat nanti.

Oleh karena itu, hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan kualitas demokrasi sekaligus peningkatan korupsi di Indonesia.

Baca Juga: BSI Bukti Kesungguhan Indonesia Menjadi Pusat Ekonomi Syariah Dunia

Kedua, dilema masyarakat pada saat memberikan kritik

JK mengungkapkan jika masyarakat ingin memberikan kritik kepada pemerintah. Di satu sisi, mereka ingin mengritik tetapi di sisi yang lain, mereka takut dipanggil polisi.

“Tentu banyak pertanyaan dari masyarakat terkait bagaimana cara mengritik pemerintah tanpa dipanggil polisi,” ujar JK.

JK menegaskan pentingnya keberadaan check and balance demi terwujudnya demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu, JK meminta kepada PKS selaku partai oposisi untuk senantiasa memberikan kritik agar munculnya suatu keseimbangan di pemerintah.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x