Meskipun waktu itu masih remang-remang, di dalam tenda Sukitman sempat mengamati keadaan sekelilingnya.
Ia melihat orang yang telentang mandi darah, ada juga yang duduk di kursi sambil bersimbah darah segar.
Seseorang memerintahkan si tentara tadi, yang kemudian diketahui namanya Lettu Dul Arief, agar Sukitman ditawan di depan rumah.
Begitu hari terang, dari jarak sekitar 10 m Sukitman bisa melihat dengan jelas sekelompok orang mengerumuni sebuah sumur sambil berteriak, "Ganyang kabir, ganyang kabir!"
Sukitman sempat melihat seorang tawanan yang masih hidup dengan pangkat bintang dua di pundaknya, mampir sejenak ke tempatnya ditahan.
Sukitman menyaksikan sekelompok orang mengerumuni sebuah sumur sembari berteriak "Ganyang kabir, ganyang kabir!".
Dia melihat tawanan-tawanan digiring ke bibir sumur tua lalu dilempar ke dalamnya. Disusul rentetan tembakan ke dalam sumur.
Sukitman ketakutan. Dia menangis dalam hati dan berdoa agar tidak menjadi korban berikutnya.
Di tengah rasa takut, seorang anggota Tjakrabirawa datang. Anak buah dari Letkol Untung menenangkan Sukitman bahwa dia tidak dibunuh karena satu nasib, merupakan sama-sama seorang prajurit.
Lolos dari pembunuhan, Sukiman lalu diajak menuju Halim Perdanakusuma bersama iring-iringan pasukan. Sesampainya di Gedung Penas, pasukan itu diturunkan di lapangan. Dia masih bersama Lettu Dul Arief.