Perkawinan Anak Masih Jadi Persoalan, Peningkatan Pendidikan dan Kesetaraan Gender Terus Didorong

- 17 Desember 2021, 16:59 WIB
Seminar Hybrid Hari Ibu ke -93 "Perjuangan Perempuan di Era Tatanan Kehidupan Baru" di Institut Teknologi Nasional, Kota Bandung, Jumat (17/12/2021).
Seminar Hybrid Hari Ibu ke -93 "Perjuangan Perempuan di Era Tatanan Kehidupan Baru" di Institut Teknologi Nasional, Kota Bandung, Jumat (17/12/2021). /Rio Ryzki Batee/Galamedia/


GALAMEDIA - Perkawinan anak masih menjadi persoalan di Indonesia, hal tersebut akhirnya memicu kekerasan anak maupun kekerasan dalam rumah tangga. Lebih jauh, mengakibatkan wajib belajar 12 tahun tidak terjadi hingga persoalan ekonomi sosial.

Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan bahwa di Jawa Barat dari 12 dari 100 anak menikah di usia dibawah 18 tahun. Artinya perkawinan anak masih menjadi persoalan ditengah masyarakat saat ini.

"Perkawinan anak di Jabar angkanya cukup tinggi, yang berdampak pada pendidikan karena pasti drop out. Juga kesehatan karena reproduksinya belum siap serta resiko kanker serviks," ungkapnya disela-sela Seminar Hybrid Hari Ibu ke -93 "Perjuangan Perempuan di Era Tatanan Kehidupan Baru" di Institut Teknologi Nasional, Kota Bandung, Jumat, 17 Desember 2021.

Menurutnya selain resiko kematian, perkawinan anak juga dapat menimbulkan kasus stunting. Mengingat dengan masih rendahnya tingkat pendidikan, maka akan berdampak pada kondisi ekonomi yang juga rendah.

Baca Juga: Luhut Sebut Utang RI Rp6.000 T Bisa Dinikmati, Netizen: SBY Rezim Subsidi, Pak Jokowi Rezim Cicilian

"Jawa Barat menargetkan bebas stunting, tapi persoalan perkawinan anak menjadi masalahnya sehingga harus mulai diselesaikan dari hulu, serta menjadi pemicu bagi kekerasan anak," terangnya.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar adanya kesetaraan gender dalam pendidikan maupun sosial ekonomi di masyarakat. Mengingat masih banyak anak perempuan yang memiliki pendidikan yang lebih rendah dibanding anak laki-laki.

Lenny menjelaskan dengan pendidikan yang tinggi atau sesuai program pemerintah yakni wajib belajar 12 tahun , maka akan memiliki ijazah yang kompetitif. Dengan harapan dapat memiliki upah dan lapangan pekerjaan yang baik.

"Minimal mempunyai ijazah SMA, jadi memiliki daya saing dan ijazah yang kompetitif, jika tidak maka akan bekerja di sektor informal yang tidak perlu memiliki skill, dengan upah yang rendah," tuturnya.

Halaman:

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x