Mike Sharples, professor emeritus dari Open University di Inggris Raya telah melihat "terobosan besar" selama 40 tahun berkarir dalam kecerdasan buatan termasuk pendahulunya ChatGPT yaitu GPT-3. Sharples memperingatkan, "GPT mendemokratisasikan plagiarisme".
Beberapa mahasiswa pun secara terbuka mengatakan dirinya sebagai pengguna ChatGPT ketika membuat tulisan dan memperoleh bahasa akademis yang sempurna. Tindakan tersebut serupa dengan ghostwriting. Namun, terdapat contoh yang menunjukkan kalau jawaban dari ChatGPT secara faktual tidak selalu tepat.
Apakah ChatGPT merupakan ancaman bagi pendidikan di universitas ?
ChatGPT dapat dipergunakan untuk makalah penelitian. Sharples mengatakan AI menghasilkan artikel ilmiah yang dapat "lolos tinjauan akdemik pertama".
Baca Juga: Pantai Boom Tuban, Destinasi Wisata Cantik Bekas Pelabuhan Kerajaan Majapahit
Hal ini mengkhawatirkan bagi Wessel, oleh sebab universitas dalam bahaya karena dapat tertinggal. Sementara di sisi lain, terdapat industri perangkat lunak yang sedang mengembangkan kemampuan melebihi sistem AI. Serta, mahasiswa yang menggunakan AI dalam pendidikan lebih mampu menerima perkembangannya daripada dosen.
Terkadang, mahasiswa mempelajari AI dengan cepat dan secara real time melalui media sosial serta mau mencoba menggunakan metode baru. Sedangkan, staf akademik dan profesor lebih lambat dalam menyerap ilmu baru tersebut dan malah tidak mau melakukan perubahan.
Wessel melihat "kemungkinan skenario terburuk" yang tidak dapat diduga oleh profesor yang berpikir mereka sudah mengajar mahasiswa dengan maksimal apabila tugas yang mahasiswa kumpulkan tanpa kesalahan. Padahal faktanya, yang mengerjakan adalah ChatGPT atau sistem yang serupa. ***