Lebih dari 200 anak di Indonesia Meninggal akibat Obat Batuk Sirup Beracun

- 16 Oktober 2023, 17:05 WIB
Seseorang Memegang Sendok Sirup Batuk
Seseorang Memegang Sendok Sirup Batuk /cottonbro studio/pexel/

GALAMEDIANEWS - Kasus tragis terkait sirup batuk beracun yang menyebabkan kematian lebih dari 200 anak-anak di Indonesia tahun lalu semakin menghebohkan. Produsen obat Indonesia, Afi Farma, telah dihadapkan pada dakwaan serius. Mereka diduga menggunakan bahan beracun dalam jumlah mencapai 99% dalam 70 batch obat yang mereka produksi.

Penyelidikan ini baru-baru ini diungkapkan di pengadilan di Kediri, Jawa Timur, tempat perusahaan tersebut berbasis. Ini adalah laporan pertama yang mengungkapkan tuduhan penggunaan bahan beracun pada tingkat sedemikian tinggi oleh Afi Farma.

Kasus kriminal ini mencuat ketika dunia sedang berupaya meningkatkan pengawasan rantai pasokan obat setelah serangkaian keracunan yang terkait dengan sirup batuk yang tercemar menewaskan puluhan anak di negara-negara seperti Gambia dan Uzbekistan.

Menurut lembar dakwaan, dua batch propylene glycol, bahan dasar penting untuk obat sirup yang diterima oleh Afi Farma antara Oktober 2021 hingga Februari 2022, mengandung sebanyak 96% hingga 99% zat beracun, yaitu ethylene glycol (EG). Tes yang dilakukan oleh kepolisian tahun lalu mengonfirmasi temuan ini.

Baca Juga: Indonesia Mencari Dukungan China untuk Proyek Energi Terbarukan dan Infrastruktur

Reza Wendra Prayogo, pengacara Afi Farma, mengklaim bahwa tidak ada bukti tuduhan keracunan yang disengaja terhadap perusahaan tersebut. Dia juga menyatakan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia tidak mewajibkan produsen obat untuk melakukan tes bahan baku yang ketat.

BPOM tidak segera memberikan tanggapan terkait hal ini.

Afi Farma adalah salah satu dari empat perusahaan yang diadukan oleh polisi Indonesia dalam penyelidikan pasokan sirup batuk yang tercemar, dengan sidang dijadwalkan pada tanggal 18 Oktober.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batas aman untuk toksin yang diketahui, EG dan diethylene glycol (DEG), adalah tidak lebih dari 0,10%, berdasarkan standar global. Pedoman standar obat Indonesia pada tahun 2020 juga mengadopsi batas ini.

 Baca Juga: Pengadilan Konstitusi Indonesia Tolak Perubahan Aturan Batas Umur Kandidat Presiden dan Wakil Presiden

EG digunakan dalam pembuatan cairan pendingin dan penghilang es pada mobil, di antara penggunaan lainnya. Jika tertelan, EG dapat menyebabkan kerusakan ginjal akut.

Kedua EG dan DEG dapat digunakan sebagai pengganti propylene glycol oleh produsen yang tidak jujur karena harganya kurang dari separuh harga propylene glycol, menurut beberapa ahli farmasi.

Izin Afi Farma untuk memproduksi obat telah dicabut pada akhir tahun lalu, dan produk-produk mereka ditarik dari pasar karena melanggar aturan manufaktur. Empat pejabat perusahaan, termasuk CEO dan manajer kontrol kualitas, telah ditangkap dan diadukan atas kelalaian karena "dengan sadar" tidak melakukan pengujian bahan meskipun memiliki sarana dan tanggung jawab untuk melakukannya, menurut lembar dakwaan. Jaksa penuntut saat ini menuntut hukuman penjara hingga sembilan tahun untuk para pejabat tersebut.

Afi Farma membantah tuduhan ini melalui pengacaranya

Regulator obat dalam negeri, BPOM, sebelumnya menyatakan bahwa beberapa pihak dalam rantai pasokan obat telah mengeksploitasi celah dalam aturan keamanan, dan produsen obat tidak melakukan pemeriksaan yang cukup terhadap bahan baku yang digunakan.

Kasus-kasus kontaminasi seperti ini telah memicu penyelidikan pidana, gugatan, dan peningkatan pengawasan regulasi obat secara global.

Sebulan yang lalu, Reuters melaporkan bahwa beberapa produsen obat India yang terlibat dalam kasus serupa tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah membeli bahan baku farmasi berkualitas atau menguji obat mereka terhadap toksin.***

Editor: Nadya Kinasih

Sumber: Reuters


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah