Aturan yang Tidak Beraturan dan Tebang Pilih

4 Mei 2021, 15:18 WIB
Ilustrasi mudik. /ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa

GALAMEDIA - Tahun ini ternyata menjadi kali kedua Ramadan di tengah pandemi Covid-19.

Menjelang Hari Raya Idulfitri, persiapan yang biasa dilakukan para perantau adalah untuk mudik ke kampung halaman menemui keluarga tercinta yang sudah lama tak bersua.

Namun semenjak pandemi hadir tahun lalu, kebijakan pemerintah yang melarang mudik ke kampung halaman masih berlanjut hingga sekarang.

Pemerintah telah mengeluarkan larangan mudik 2021 bagi seluruh masyarakat dan berlaku di Indonesia. Pada awalnya pemberlakuan ini dimulai dari tanggal 6 Mei hingga 17 Mei 2021 mendatang.

Baca Juga: Mau BLT Dana Desa Rp300 ribu Cair Sebelum Lebaran? Simak Ketentuannya di Sini

Namun pemerintah merevisi dan mempercepat larangan mudik menjadi 22 April hingga 24 Mei 2021 (pikiran-rakyat.com, 24/04/21).

Dalam aturan tambahan itu juga menyatakan sejumlah syarat yang harus dipenuhi bagi pelaku perjalanan. Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan permintaan adanya dispensasi larangan mudik bagi para santri di pondok pesantren agar bisa pulang ke kampung halamannya.

Hal tersebut disampaikan Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi kepada wartawan (kompas.com, 26/04/21).

Melihat fakta dan kondisi seperti ini, memberikan pandangan jika pemerintah dianggap tak serius urus pandemi virus.

Baca Juga: Heboh Pengusiran Jamaah oleh Ta'mir Masjid di Depok, MUI: Perlu Ada Seleksi Agar Tidak Sembrono

Memberikan larangan mudik untuk membatasi penyebaran covid dan disaat yang sama akses wisata dibuka selebar-lebarnya.

Tentunya dengan alasan agar ekonomi terus berputar. Ditambah kepentingan sekelompok masyarakat menggiring kebijakan mudik menjadi kebijakan tebang pilih yang rentan dilanggar, makin menggerus kepatuhan publik terhadap aturan dan menimbulkan persoalan baru.

Tak heran jika masalah pandemi susah diatasi. Hal-hal di atas menjadi sesuatu yang wajar terjadi pada sistem yang mengutamakan kebebasan berbasis kapitalis. Setiap kebijakan yang diambil selalu berdasarkan pada untung dan ruginya materi.

Baca Juga: Innalillahi, Miris! Mutasi Virus Corona dari India dan Afrika Selatan Sudah Masuk ke Indonesia

Jika kebijakan menguntungkan akan diambil, dan sebaliknya. Nasib rakyat? Mereka seakan dijadikan pelengkap setiap kebijakan.

Beberapa dibuat seperti memihak rakyat, tapi kebijakan lainnya malah menusuk mereka. Aturan yang tak beraturan dan tebang pilih.

Kebijakan yang memihak rakyat hanya terjadi di negara yang menerapkan aturan Islam selama 13 abad lebih yang lalu di bawah naungan Khilafah.

Penerapan syari’ah secara sempurna dan menyeluruh dalam kehidupan, mampu membawa rakyat pada kesejahteraan tak memandang muslim dan non-muslim.

Kita dapat melihat sosok pemimpin dalam Islam seperti Umar bin Khaththab ketika menghadapi wabah. Beliau dengan sigap dan serius mengambil kebijakan karantina total wilayah wabah, memberikan bantuan pangan dan obat-obatan, hingga kebijakan ekonomi di wilayah lain yang tak terdampak.

Baca Juga: Kocak! Satu Indonesia Kena Prank Kaesang Pangarep, Ternyata Ini Pemain Persis Solo dengan Harga Rp 23 Miliar

Semuanya dilakukan karena sang Khalifah memahami betul tugas pemimpin adalah untuk mengurusi urusan rakyat.

Seperti yang disabdakan Rasulullah saw.,"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Bukhari)

Oleh karenanya, agar tidak terjadi kembali aturan yang tidak beraturan seperti sekarang ini, kita membutuhkan pemimpin yang memiliki keimanan yang kokoh, takut pada Rabb-nya, juga taat Syari’atNya.

Sebab pemimpin yang taat akan senantiasa sadar bahwa setiap kebijakan yang putuskan, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb Semesta Alam.

Wallahu a’lam bish shawwab

Tsaqifah N. Az-Zahra
Aktivis Muslimah

Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler