Bapak Ideologi Muhammadiyah Itu Menjadikan Puasa Sebagai 'Kanopi Diri'

- 20 April 2021, 11:00 WIB
Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si./dok.istimewa
Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si./dok.istimewa /

GALAMEDIA - Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si. Ketua Umum PP. Muhammadiyah adalah kader otentik Muhammadiyah yang tidak ada irisan ideologis dengan organisasi lain di luar Muhammadiyah.

Sejak di usia yang masih belia, aktif sebagai Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP. IPM) 1983-1986 (sebagai Ketua I, Bidang Pengkaderan), kemudian Departemen Kader PP. Pemuda Muhammadiyah 1985-1990, dan Sekretaris Badan Pendidikan Kader (BPK) PP. Muhammadiyah 1985-1995.

Ia juga sempat menjadi Ketua Badan Pendidikan Kader dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah (BPKPAMM) PP. Muhammadiyah 1995-2000, Sekretaris PP. Muhammadiyah, 2000-2005, Ketua PP. Muhammadiyah 2005-2015, dan Ketua Umum PP. Muhammadiyah 2015-sekarang.

Baca Juga: SAFARI RAMADAN: Uu Ruzhanul Ajak Masyarakat Tetap Produktif di Tengah Pandemi

Dilihat dari riwayat organisasinya, sosok Haedar Nashir terlihat sangat konsisten dan benar-benar menekuni Muhammadiyah. Sejak muda, tidak ada organisasi lain, selain organisasi internal Muhammadiyah yang digeluti.

Sosok Haedar tergolong sangat produktif menulis, terutama berkaitan dengan pemikiran ideologi Muhammadiyah, sehingga tak heran warga Muhammadiyah menyebutnya sebagai Bapak Ideologi Muhammadiyah.

Melalui karya-karya tulisnya, di rubik husus bernama "Bingkai" Haedar mampu membingkai pikiran warga Muhammadiyah dalam nuansa "Islam Washatiyah".

Pikiran-pikirannya senantiasa menjadi rujukan wajib, bagi siapapun yang ingin membicarakan Muhammadiyah.

Haedar juga dikenal sebagai pimpinan Muhammadiyah yang low profile. Sebagai Guru Besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, banyak aktivis Muhammadiyah, memandang tokoh ini sebagai adalah penjaga gawang ideologi Muhammadiyah.

Haedar sosok yang beraliran "khitois" karena ketaatannya pada garis-garis haluan organisasi. Haedar memiliki wawasan kebangsaan, keislaman, dan kemuhammadiyahan yang luas serta mendalam.

Baca Juga: Gunung Merapi Kembali Luncurkan Guguran Awan Panas Selama 114 Detik ke Arah Barat Daya Sejauh 1,5 Km

Dalam bukunya yang berjudul, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010), Haedar mengungkapkan betapa Muhammadiyah sungguh "kenyang" dengan hiruk pikuk dunia politik. Muhammadiyah merasakan betul betapa rumitnya bersentuhan dengan dunia politik.

Meskipun demikian, terang Haedar, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bercorak sosio-keagamaan tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaannya justru harus menyatu dengan wawasan kekuasaan.

"Akan tetapi, yang perlu dijaga adalah bagaimana agar Muhammadiyah tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan," jelasnya.

Muhammadiyah adalah gerakan Islam Non-politik. Pelibatan politik di Muhammadiyah sangat dikhawatirkan, sehingga hal ini menjadikan Haedar sangat memegang teguh kepada khittah organisasi.

Keberpihakan Haedar kepada khittah Muhammadiyah merupakan kebanggan tersendiri segenap warga Muhammadiyah. Gaya politik ini dapat disebut sebagai politik kebangsaan, high politics atau politik nilai.

Pengalaman panjang berorganisasi di Muhammadiyah sejak muda, keterlibatan pada perumusan keputusan-keputusaan organisasi Muhammadiyah, membuat Haedar sebagai seorang nahkoda memahami betul ideologi dan khittah Muhammadiyah, termasuk memahami hendak kemana membawa sikap dan pandangan Muhammadiyah di masa yang akan datang.

Baca Juga: Mengapa Kurma Dibenci Jin dan Setan, Dan Mengapa Nabi SAW Memakan Kurma dalam Hitungan Ganjil? Ini Jawabanya

Puasa Sebagai Kanopi Diri
Sebagai publik pigur, Haedar Nashir juga sering menggunakan media sosial sebagai ajang berbagi pengetahuan, sekaligus berdawah. Baru baru ini juga lewat akun Twiter-nya mengatakan tentang "konsep kanopi" di bulan Ramadan ini.

Menurut Haedar, setiap tahun kita berpuasa tidak cukup hanya sebagai ritual individu semata, tetapi puasa harus memancarkan diri kita yang menjadi uswah khasanah (teladan yang baik) dalam kehidupan.

Masih menurut Haedar, puasa sebagai ibadah mahdloh merupakan satu kewajiban yang rutin kita tunaikan. Puasa dalam membentuk pribadi taqwa, tentu tidak sekali jadi, maka setiap tahun berpuasa menurut ulama sebagai "olah jiwa tahunan " yang akan membentuk kita semakin baik, semakin bertaqwa.

"Saya mencoba meletakan puasa sebagai "kanopi", kata Haedar.

"Sekaligus sebagai teras rohani kita, agar dengan ketaqwaan yang terus kita bangun itu melahirkan diri kita yang bersih, suci lahir bathin, dalam makna puasa adalah proses revolusi rohani," lanjutnya.

Baca Juga: IPDN Siapkan Praja yang Bisa Mengimplementasikan Misi Kepala Daerah dan Strategi Penanganan Covid-19

Ketika puasa diproyeksikan sebagai "laalakum tattaquun"(agar kamu menjadi orang yang bertakwa) bagaimana sifat taqwa itu diperaktekan.

"Contohnya, apakah setelah puasa kita akan menjadi orang yang semakin dermawan, apakah kita akan menjadi orang yang sabar, tidak pemarah, kemudian menjadi pemaaf," terang Haedar mencontohkan.

Di dalam cuitanya juga, Haedar menulis bahwa puasa yang bisa membentuk kanopi diri, menjadi insan yang bersih lahir bathin adalah puasa yang berintegrasi bukan hanya menahan puasa dari makan minum dan pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga menjadikan diri menjadi orang yang mempunyai kemampuan merawat dan menjaganya.

Penulis:
Anto Ramadhan

Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x