Berkaca Pada Polarisasi Pemilu 2019, Jangan Sampai Terulang di Pemilu 2024

- 24 Mei 2023, 09:56 WIB
Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. ///ANTARA/D.D Kliwon

Oleh : Mega Nugraha Sukarna, Praktisi Hukum dan Media

SEJARAH mencatat, partisipasi pemilih pada Pilpres 2019 paling tinggi sepanjang republik ini berdiri. Pada Pilpres 2019, data KPU mencatat, partisipasi pemilih mencapai 81,97 persen.

Kenaikan itu menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Setidaknya, sejak Pilpres 2004, yang saat itu partisipasi pemilihnya tercatat sebanyak 79,76 persen. Lalu pada 2009 74,81 persen, pada 2014 menurun jadi 69 persen dan di Pilpres 2019 81,97 persen.

Fenomena itu tidak lepas dari faktor perkembangan teknologi informasi yang meniscayakan disrupsi informasi. Era 2010 hingga 2020, Indonesia berada di fase disrupsi informasi dimana setiap narasi gagasan menggema dalam setiap lini massa media sosial.

Baca Juga: Destinasi Tempat Wisata di Bekasi Murah 2023: View Bagus, Spot Instagramable, Cocok untuk Liburan Keluarga

Pada Pilpres 2019, hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hadirnya dua pasangan calon itu melahirkan perdebatan panjang tentang masing-masing calon.

Saking sengitnya, narasi publik di ruang media sosial terpecah dalam dua isu besar; 'cebong' dan 'kampret'. 'Cebong' bagi pendukung Joko Widodo dan 'Kampret' bagi pendukung Prabowo Subianto.

Geliat aktivitas demokrasi digital kala Pilpres 2019 itu sayangnya melahirkan sisi kelam keterbukaan informasi. Bagaimana tidak, narasi disinformasi, hoaks, ujaran kebencian hingga persekusi berseliweran di setiap lini massa berbagai platform media sosial, baik Facebook, Twitter, Instagram hingga WhatsApp.

Jokowi dan KH Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dipersepsikan dengan berbagai citra negatif di media sosial. Jika melihat data, fenomena yang terjadi pada Pilpres 2019 itu tidak lepas dari pertumbuhan teknologi Informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia yang sedang tinggi.

Publikasi BPS berjudul Statistik Telekomunikasi Indonesia 2020, menyebutkan, dalam kurun 5 tahun terakhir atau 2015-2020, penggunaan TIK di Indonesia menunjukan perkembangan yang sangat pesat.

Salah satu indikatornya, menurut BPS, penggunaan internet dalam rumah tangga mencapai 78,18 persen, yang diikuti pula oleh pertumbuhan penduduk yang menggunakan telepon seluler mencapai 62,84 persen. Kemudian, kepemilikan komputer dalam rumah tangga pada 2020 juga mengalami kenaikan menjadi 18,83 persen.

Lalu, penduduk yang menggunaan internet juga mengalami peningkatan selama kurun waktu 2016—2020, yang ditunjukkan dari meningkatnya persentase penduduk yang mengakses internet pada tahun 2016 sekitar 25,37 persen menjadi 53,73 persen pada tahun 2020.

Baca Juga: 10 Universitas Paling Dekat dari Bekasi Jawa Barat, Disertai Info Jarak dan Peringkat Nasional EduRank 2023

Artinya, melihat fakta tersebut di atas, tingginya partisipasi pemilih pada Pilpres 2019 jadi keniscayaan yang dikehendaki zaman, karena didukung infrastruktur teknologi dan pemanfaatan media sosial untuk pilpres yang massif.

Di sisi lain, narasi yang dimunculkan dalam lini massa media sosial, yang diviralkan, juga menggugah sisi moralitas, emosional, nilai-nilai agama, proximity atau kedekatan hingga urusan sejarah dan rasisme.

Misalnya saja, Jokowi dicitrakan sebagai warga keturunan China, keturunan PKI, persekusi perawakan tubuhnya yang kurus hingga hal negatif lainnya. Lalu pada Prabowo, sempat dipersepsikan sebagai sosok non muslim lewat video yang diviralkan.

Sekalipun narasi tersebut bernuansa negatif, nyatanya, banyak orang yang meyakini atau setidaknya terpengaruh oleh setiap konten negatif yang diviralkan. Kondisi semacam itu, kata Budi Gunawan Barito Mulyono Ratmono, dalam bukunya berjudul Demokrasi di Era Post-Truth, faktor media memang sangat penting.

Tapi, bingkaian cerita dan video juga melipat gandakan efek komunikasinya. Sekalipun partisipasi pemilih di Pilpres 2019 naik signifikan, namun, efek negatif yang dihasilkan terlalu berisiko karena menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Bahkan, sudah mengarah pada disintegrasi bangsa.

Data Kemenkominfo menyebutkan, pada periode Agustus 2018 hingga November 2019 jadi waktu paling rawan. Kemenkominfo mengidentifikasi, ada 3.901 hoaks yang disebar. Dari jumlah itu, masalah politik jadi sasarn hoaks paling tinggi dengan jumlah 973 hoaks.

Jangan Terulang di Pilpres 2024

Melihat kelamnya sisi lain Pilpres 2019, saat ini, semua pihak berharap masa-masa lima tahun lalu itu tidak terulang pada Pemilu 2024. Jangan ada lagi polarisasi di tengah masyarakat berdasarkan.

Untuk melihat potensi kelamnya demokrasi era digital pada 2019 bisa terjadi di Pilpres 2024, setidaknya kita bisa melihat pola yang terjadi pada lima tahun lalu.

Pertama dari segi pengguna internet. Data dari We Are Social-Hootsuite Januari 2020, pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang dari total penduduk 272,1 juta jiwa. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari 2019 yakni 150 juta.

Saat ini, dengan mengutip sumber yang sama, pengguna data internet di Indonesia pada 2023 meningkat tajam, yakni sebanyak 212 juta dari 276,4 juta penduduk. Kemudian, pengguna media sosial aktifnya mencapai 167 juta jiwa.

Baca Juga: Jadwal dan Link Live Streaming Gratis Malaysia Masters 2023 Hari Ini, 14 Wakil Indonesia Berlaga, The Minions?

Dari total pengguna internet di Indonesia pada 2023 itu, sebanyak 83,2 persen menggunakan internet untuk menemukan informasi. Lalu, sebanyak 73,2 persen menggunakan internet untuk menemukan ide-ide baru dan inspirasi dan 73,0 persen menggunakan internet untuk berhubungan dengan teman dan keluarga.

Melihat data tersebut, karena momen pemilihan presiden memunculkan sosok-sosok pemimpin nasional, niscaya masyarakat akan mencari setiap informasi terkait sosok calon presiden, berikut partai pengusung dan latar belakangnya.

Secara infrastruktur digital, masyarakat akan terbantu dengan berbagai informasi terkait Pemilu 2024. Hanya saja, potensi ancaman penyebaran hoaks, disinformasi, ujaran kebencian dan persekusi melalui sebaran video, foto, suara hingga teks masih bisa terjadi.

Namun, setinggi apa dan seberapa besar risiko yang akan terjadi, kemungkinan akan ditentukan sejauh mana koalisi partai, latar belakang ideologi dan siapa sosok calon yang akan diusung.

Seperti diketahui, saat ini, baru ada tiga orang yang sudah mendeklarasikan atau dideklarasikan diri sebagai bakal calon presiden. Antara lain, Anies Baswedan yang untuk sementara ini diusung Partai Nasdem dan PKS.

Lalu ada Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerindra dan Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP. Selebihnya, partai lain yang punya kursi di parlemen, belum memutuskan calon usungannya.

Namun yang pasti, siapapun partai pengusungnya dan siapapun calon yang diusung, sejatinya Pemilu harus jadi ajang pemersatu bangsa, bukan justru sebaliknya.

Pesatnya perkembangan teknolgi di era demokrasi tidak lantas dimanfaatkan para peserta pemilu dengan menyebarkan hoaks, disinformasi, ujaran kebencian hingga persekusi. Ada harga mahal yang harus dibayar bangsa ini, jika pemilu dicederai dengan berbagai aktivitas hitam berinternet.

Tidak hanya sebatas imbauan, para pemimpin bangsa ini juga harus berkomitmen untuk menjaga pemilu tetap berlangsung aman. Pemilu adalah bagian dari hak politik, namun penyelenggaraan pemilu dengan suasana aman juga jadi kewajiban karena aman juga bagian dari hak asasi manusia.

Penyelenggara Pemilu Harus Proaktif di Ruang Maya

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menegaskan bahwa tujuan digelarnya pemilu untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Baca Juga: Mengenal Dewa Petir yang Diperankan Ray Stevenson di Film Thor

Tugas menjadikan pemilu sebagai sarana konstitusinal peralihan kekuasaan dengan aman, tanpa intimidasi, tanpa informasi menyesatkan, teror dunia maya dan narasi kebencian, tak hanya tugas Bawaslu sebagai guardian of the election.

Pasal 14 huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa KPU berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaran pemilu pada masyarakat.

Kewajiban KPU sebagaimana diatur di pasal 14 itu jadi sangat penting. Apalagi di era post-truth, sebuah situasi yang menurut Oxford Dictioanries, sebuah situasi dimana emosi dan keyakinan personal jadi lebih penting dalam membangun opini publik ketimbang fakta.

Sebut saja, dalam konten media sosial, fakta sebuah peristiwa atau aturan tentang penyelenggaraan pemilu bisa tersisihkan saat dihadapkan pada serangan disinformasi dan ujaran kebencian yang berkembang dan diyakini secara personal dan emosional oleh publik.

Karenanya, tugas penyelenggaran pemilu, KPU hingga Bawaslu di masa Pemilu 2024 tantangannya semakin berat. Selain dihadapkan pada tugas tahapan penyelenggaraan pemilu, keduanya juga bertanggung jawab secara moril menciptakan pemilu dengan aman dan damai. Karena sekali lagi, aman adalah hak asasi manusia yang tidak bisa diganggu gugat.***

DISCLAIMER: Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim.

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x