#SayangiMentalmu Tolak Toxic Positivity, Bahaya Pura-pura Bahagia

6 September 2021, 12:05 WIB
Ilustrasi Senyum /Pixabay

GALAMEDIA - Frasa pura-pura bahagia saat ini terdengar ringan. Tapi secara esensial di balik frasa yang kerap jadi meme bergenre funny-sarcasm tersebut, ada isu serius yang lebih dari sekadar tagar kekinian: kesehatan mental.

Pura-pura bahagia pada dasarnya adalah penolakan untuk menghadapi emosi-emosi sulit atau intens yang tanpa sadar dibungkus frasa lain yang terdengar solutif, positive thinking.  
Tapi ternyata semua ada batasnya, bahkan berpikir positif, karena ujung-ujungnya bisa menjadi racun atau toxic. Ya, toxic positivity.

What is it?

Baca Juga: Aksi Brad Pitt di Bioskop Trans TV Malam Ini, Allied: Rumitnya Cinta Agen Mata-mata Rahasia

Dikutip dari MedicalNewsToday, secara sederhana toxic positivity adalah pemikiran yang mendorong seseorang untuk mengabaikan emosi.

Padahal ini justru berpotensi meningkatkan intensitas dan kekuatan perasaan yang dengan sengaja ditekan atau diabaikan.

Di level objektif, berpikir positif  memberi banyak manfaat tetapi manusia tidak dirancang untuk 24/7 berpikiran positif.

Dan selain aktivis positive thinking, ada juga orang-orang yang tanpa sadar menjadi “agen toxic positivity”.

Mereka tidak menyadari bahwa meminta orang lain untuk hanya mengekspresikan emosi positif akan menghambat kemampuan mengartikulasikan perasaan dan lebih jauh membuat “korban” menjadi judgemental, merasa gagal karena tak mampu mematikan pikiran negatif.

Baca Juga: Brazil vs Argentina, 4 Menit Berjalan, Laga Dihentikan Paksa Gara-gara 3 Pemain Tim Tango Tak Jalani Isolasi

Take a note: toxic positivity adalah obsesi akan pemikiran positif dan keyakinan bahwa orang harus mampu berada di kutub positif, melihat sisi positif untuk semua pengalaman,terlihat positif (baca: bahagia) kapan pun, di mana pun, termasuk di tempat yang secara alami memicu tekanan seperti tempat kerja.

Agen toxic positivity menafikan fakta bahwa setiap emosi adalah valid dan selayaknya diproses dengan reasoning sebelum disimpulkan sebagai “hikmah di balik peristiwa.”

Dan karena setiap kasus unik dan setiap orang memiliki kapabilitas emosional berbeda maka masing-masing proses reasoning memerlukan waktu tak sama.

Hal lain yang harus dipahami,  toxic positivity membungkam emosi negatif yang dalam jangka panjang akan terakumulasi menjadi bom emosional.

Baca Juga: Pengunjung yang Tertukar, Di Sini Hewan Buas Bebas Manusia yang Dikandangi

Agen toxic positivity juga merendahkan esensi kesedihan, membuat orang tertekan karena  tuntutan berpikir positif atau berpura-pura bahagia, bahkan ketika mereka tengah berjuang menghadapi pergulatan emosi.

Dalam beberapa kasus, orang tidak sadar jika mereka berada di zona toxic positivity. 

Mereka adalah orang-orang yang selalu berusaha tampil bahagia sepanjang waktu dengan menyajikan segala sesuatunya dalam visual positif di level permukaan.

Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang tak menyaring penggunaan frasa move on saat menasihati seseorang yang berduka atau sedang dalam persoalan pelik.

Berikut risiko dan bahaya serta cara menghindari toxic positivity:

Baca Juga: Coki Pardede dan Pemasok Terbebas dari Ancaman 6 Tahun Penjara, Ketum KNPI: Ini Pendukung Partai Apa Ya?

Apa beda toxic positivity dan positive thinking?

Tak terhitung buku dan media populer yang membahas pentingnya positive thinking dengan menyertakan bukti yang menyimpulkan sikap mental ini dapat meningkatkan kesehatan mental.

Sebuah studi tahun 2018 mengungkap bagaimana  dengan self esteem sebagai fodasi, positive thinking mampu mengurangi pikiran ekstrem seperti mengakhiri hidup di kaangan muda berpendidikan.

Namun data juga menunjukkan dukungan sosial dan self-efficacy atau kemampuan mengatasi persoalan menjadi faktor utama lainnya dalam mengelaborasi proses positive thinking.

Jadi, berpikir positif memerlukan faktor pendukung, bukan sesuatu yang bisa dilakukan begitu saja dan bukan pula obat ajaib untuk semua tantangan hidup.

Toxic positivity cenderung menjadikan positive thinking sebagai satu-satunya solusi untuk setiap persoalan dengan implikasi tuntutan menghindari negative thinking atau mengekspresikan emosi negatif.

Sedangkan positive thinking sendiri pada dasarnya adalah optimisme saat tengah menghadapi persoalan tanpa mengesampingkan emosi yang dirasakan.

Toxic positivity, sebaliknya, menuntut pikiran positif terlepas dari tantangan yang dihadapi, sekaligus membungkam emosi hingga memicu keraguan untuk mencari dukungan sosial.

Baca Juga: Bepergian Pakai Motor Matic? Cek 5 Kelengkapan Berikut Ini Biar Aman

Contoh sikap positif yang bisa berubah menjadi toxic positivity:

- Menghibur seseorang yang anaknya meninggal untuk tetap positif karena setidaknya mereka “sempat” memiliki anak

- Menegaskan bahwa "segala sesuatu ada hikmahnya" saat bencana atau tragedi melanda

- Mendorong seseorang yang mengalami kehilangan untuk fokus pada aspek positif

- Memberitahu seseorang untuk melupakan kesedihan atau penderitaan dan fokus pada hal-hal baik dalam hidup

- Melabeli orang yang selalu tampak positif atau tidak berbagi emosi sebagai personifikasi ketangguhan

- Meminta seseorang untuk tetap “thriving” di tengah kesulitan yang dihadapi

- Menepis kekhawatiran seseorang dengan mengatakan, “Masih untung, kejadiannya bisa jauh lebih buruk”

Ungkapan di atas bisa berujung tekanan jika tidak dilakukan dengan kepekaan apakah orang yang diajak bicara telah melewati kurva emosinya.

Baca Juga: Canggih Mirip Robot Star Wars, C-RAM Senjata Anti-Rudal Jihadis Amerika Serikat di Asia

Bahaya memaksakan positive thinking

Dengan faktor pendukung berupa support system orang terdekat dan kemampuan mengolah emosi, positive thinking sama sekali tidak membahayakan.

Tetapi jika hal itu dijadikan satu-satunya pilihan sikap dengan menekan emosi yang seringkali dalam, maka mereka yang meyakininya sangat mungkin mengabaikan persoalan serius yang harusnya dihadapi, selain aspek kesehatan mental.

Mereka yang menuntut orang lain selalu positif tidak menyadari sikap mereka bukan bentuk dukungan melainkan tindakan yang membuat orang lain distigmatisasi dan dihakimi.

Risiko toxic positivity:

- Pengabaian atas bahaya sesungguhnya:  

Tinjauan naratif tahun 2020 dari 29 studi kekerasan dalam rumah tangga menemukan bahwa bias positif dapat menyebabkan orang yang mengalami pelecehan fisik meremehkan tingkat parahnya kasus dan tetap berada dalam hubungan yang toxic.

Optimisme, harapan, dan sikap memaafkan meningkatkan risiko korban bertahan bersama pelaku dan memicu memburuknya pelecehan.

- Mengabaikan perasaan yang dipicu kehilangan:

Duka dan kesedihan merupakan emosi alami dari sebuah kehilangan. Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk move on atau bahagia akan merasa seolah-olah tak ada yang  peduli dengan kehilangannya.

Dalam kasus kehilangan anak, misalnya, korban mungkin merasa bahwa anak mereka tidak penting bagi orang lain, sehingga menambah kesedihan.

- Isolasi dan stigma:

Orang-orang yang merasakan tekanan untuk selalu tersenyum kala menghadapi kesulitan cenderung tidak akan mencari pertolongan berupa dukungan moral.

Mereka merasa terisolasi sekaligus malu dengan apa yang dirasakan. American Psychiatric Association menyebut, stigma dapat menghalangi seseorang mencari penanganan kesehatan mental.

- Memutus komunikasi:

Setiap relasi memiliki tantangan. Toxic positivity  mendorong orang untuk mengabaikan tantangan mengomunikasikannya secara dua arah karena tuntutan fokus pada hal positif.

Pendekatan ini dapat menghancurkan komunikasi dan kemampuan memecahkan masalah yang melibatkan orang lain.

- Mengikis harga diri:

 Setiap orang akan mengalami emosi negatif. Toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan emosi negatif mereka. Padahal menahan emosi dapat membuat negativitas semakin kuat.

Ketika seseorang tidak dapat merasa positif, mereka akan merasa gagal.

Baca Juga: Tantangan Utama Humas Pemerintah Dalam Mengawal Kebijakan Pemerintah di Era Digital

So, is it ok to be negative?

Manusia merasakan berbagai emosi, yang masing-masing merupakan bagian penting dari kesehatan mental.

Kecemasan, misalnya, menjadi reminder akan situasi berbahaya atau keraguan moral, sementara kemarahan adalah respons normal terhadap ketidakadilan atau perlakuan buruk. Dan kesedihan  menandai level intensitas kehilangan.

Tidak mengakui emosi berarti mengabaikan tindakan yang seharusnya dapat dilakukan dengan dasar berbagai petunjuk dari perasaan tadi.

Selain itu, menghindar dari mendiskusikannya  tidak akan membuat emosi menjadi hilang. Kebanyakan orang membutuhkan bantuan untuk mengatasi emosi dari waktu ke waktu.

Mengartikulasikan emosi dapat membuat intensitas perasaan berkurang dan membantu seseorang untuk tidak lagi terjebak di dalamnya.

Beberapa penelitian menunjukkan mengartikulasikan emosi, termasuk emosi negatif dapat membantu otak memproses perasaan dengan lebih baik.

Studi sebelumnya mengungkap bahwa mengenali dan membicarakan emosi yang dirasakan akan mengurangi reaksi yang terkait dengan emosi pada otak.

Temuan ini menunjukkan bahwa mengungkapkan perasaan dapat membuat orang tidak lagi terseret atau tenggelam dalam rasa yang dipicu beragam emosi.

Baca Juga: Haikal Hassan Ungkap 5 Ciri Pembenci Habib, Salah Satunya Hobi Nonton Porno, Warganet: HRS? Rocky Gerung?

- Mengenali emosi negatif sebagai hal yang normal dan merupakan bagian penting dari pengalaman manusia

- Mengidentifikasi dan mengakui emosi, bukan menghindarinya

- Membicarakan emosi yang tengah dirasakan pada orang yang paling dipercaya, termasuk perasaan negatif

- Mencari dukungan dari orang yang tidak menghakimi, seperti teman terdekat atau terapis

Berikut tindakan yang bisa dilakukan agar kita tidak menjadi agen toxic positivity:

- Mendorong orang untuk berbicara secara terbuka tentang emosi mereka

- Menerima emosi negatif, tidak menekan,mengabaikan atau menguburnya

- Menghindari “refleks” untuk selalu memberikan respons positif terhadap semua yang dikatakan orang lain

- Mengenali bahwa emosi negatif yang intens seringkali bersisian dengan emosi positif yang juga kuat. Contohnya kesedihan yang mendalam sesungguhnya menandakan cinta yang intens.

Baca Juga: Ursula Corbero dan Sekilas Perjalanan Kariernya, Pemeran Tokyo dalam Money Heist

Reminders:  

Toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan emosi yang sulit, sekaligus berpotensi mengintensifkan kekuatan perasaan yang diabaikan.

Meskipun berpikir positif memiliki beberapa manfaat, tidak ada seorang pun yang bisa berpikir positif sepanjang waktu.

Memaksa seseorang untuk hanya mengekspresikan emosi positif dapat menghambat kemampuan berkomunikasi dan membuat tertekan  karena merasa bersalah memiliki pikiran negatif.***

Editor: Mia Fahrani

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler