BPOM Tak Percayai Vaksin Nusantara, Dahlan Iskan: Tak Membuat Mati dan Tidak Sakit

27 Agustus 2021, 19:50 WIB
Wartawan senior Dahlan Iskan berbincang-bicang dengan Karni Ilyas. /Tangkapan layar video YouTube./

GALAMEDIA - Hingga saat ini soal Vaksin Nusantara masih menjadi perbincangan hangat masyarakat. Di tengah isu kehandalannya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hingga saat ini belum mengeluarkan izin peredarannya.

Kondisi tersebut pun diakui wartawan senior Karni Ilyas. Dalam tayangan videonya berjudul 'REUNI DUO ALUMNI WARTAWAN SENIOR TEMPO,"SAYA VAKSIN SINOVAC HANYA UNTUK KE MALL!' dikutip, Jumat, 27 Agustus 2021, ia menyebutkan, wartawan senior Dahlan Iskan percaya dengan Vaksin Nusantara sementara BPOM belum mempercayainya.

Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan pun mengungkapkan alasan dirinya mendapat suntikan Vaksin Nusantara.

"Ya terus terang, saya ini bukan dokter. Saya juga bukan ilmuwan. Saya hanya pakai logika-logika saja. Dan menurut saya logika itu masuk, ya sudah," ungkapnya.

Baca Juga: Sertifikat Vaksin Jadi Syarat Akses Pelayanan Publik, Ombudsman: Tak Bisa Dilakukan, Vaksinasi Belum Merata

Sebelum mendapatkan Vaksin Nusantara, Dahlan mengakui sempat mempertanyakan soal dampaknya. "Nomor satu, ini bahaya apa tidak? Bisa membuat mati gak vaksin ini? Ketika tanya Vaksin Nusantara bikin mati enggak, pasti tidak jawabnya. Kenapa? pada dasarnya karena dari darah sendiri," ujarnya.

"Ternyata memang tidak membuat mati dan tidak sakit," lanjutnya.

Perihak kehandalannya, eks Dirut PLN ini mengatakan, hak tersebut menjadi alasan nomor dua baginya untuk mendapatkan Vaksin Nusantara.

"Karena yang penting kemajuan ilmu pengetahuan. Saya tekadkan badan saya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Jadi kalo ada seseorang menemukan sesuatu kepentingan kesehatan, sementara tak membahayakan, meski baik atau tidak belum tahu. Kalau baik, yang penting untuk kesehatan," ujarnya.

Baca Juga: Ngaku Sebagai Utusan Jokowi, Seorang Penipu Raup Rp 75 Juta dari Artis Ini

Dalam kesempatan itu, ia pun berharap agar pandemi Covid-19 ini bisa segera berakhir karena berdampak terhadap perekonomian dalam negeri.

"Ya sebenarnya kalau bicara ekonomi, sebelum pandemi juga ekonomi sudah buruk. Tapi dengan adanya covid-19 ini menjadi lebih parah. Jadi saya harap, pandemi ini bisa cepet berakhir," tandasnya.

Soal Vaksi Nusantara, Dahlan pun sempat mengeluarkan pernyataannya pada situs disway.id dikutip, Jumat, 27 Agustus 2021, sebagai berikut:

Kali ini saya tidak membela VakNus. Saya hanya ingin sungguh-sungguh bertanya kepada pembaca. Terutama kepada para ahli, birokrat, lembaga riset, otoritas perizinan, dan siapa saja:

Ada satu barang.

Katakanlah belum punya nama.

Ia bukan vaksin.

Ia bukan obat.

Ia bukan makanan atau minuman.

Ia bukan jamu.

Baca Juga: Syarief Hasan Minta Pemerintah Fokus Kembangkan Vaksin Nusantara, Bukan Bangun Pabrik dengan China

Barang itu lalu disuntikkan ke dalam tubuh manusia.

Sampai 17 hari kemudian orang yang disuntik ''barang itu'' tidak punya keluhan apa-apa. Tidak ada yang meriang. Tidak ada yang panas badan. Tidak ada yang sakit.

Di hari ke 18 mereka diperiksa di makmal independen.

Hasil makmal menunjukkan orang tersebut memiliki antibodi terhadap Covid-19. Dengan angka antara 160 sampai 200.

Mereka juga memiliki proteksi terhadap Covid-19 dengan angka yang meyakinkan: antara 48-94.

Memiliki proteksi itu penting karena belum tentu yang sudah punya antibodi tidak tertular Covid.

Baca Juga: Vaksin Nusantara Berbasis Sel Dendritik, Apa Bedanya dengan 5 Vaksin yang Disetujui BPOM? Ini Penjelasannya

Pertanyaan saya:

1. Harus disebut apa jenis barang itu? (Tidak diakui sebagai vaksin, tidak diakui sebagai obat, bukan therapy karena hanya untuk mencegah, bukan jamu, bukan makanan/minuman).

2. Siapa yang harus memberi izin agar barang itu bisa dipakai. Siapa atau lembaga apa yang harus menguji agar izin bisa diproses?

3. Ketika Civid-19 masih marak seperti sekarang dan varian-varian baru muncul, apakah barang seperti itu diperlukan?

Saya lihat banyak orang meminati barang itu. Tapi hanya yang mampu secara ekonomi yang akan bisa menjangkau. Sekali suntik bisa sekitar Rp 5 juta. Harga itu sangat mahal untuk kebanyakan orang Indonesia. Harga itu mahal karena tidak dibuat massal. Barang itu tidak bisa dibuat massal karena tidak ada izin sebagai vaksin/obat/makanan/minuman.

Saya hanya bertanya tiga soal di atas. Itu karena saya tidak mampu menjawabnya.

Please.***

 

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler