Biaya Investasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bengkak Rp114,24 triliun, Faisal Basri: Proyek Mubazir!

4 September 2021, 09:10 WIB
Ekonom Senior Faisal Basri. /Tangkapan layar Instagram/

GALAMEDIA - Kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak dari 6,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi 8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.

Hal tersebut diungkapkan PT Kereta Api Indonesia (persero) beberapa hari lalu.

Hal tersebut mendapatkan reaksi dari ekonom senior Faisal Basri melalui akun Twitter @FaisalBasri dikutip Sabtu, 4 September 2021.

"Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mengalami cost overrrun (pembengkakan biaya) miliaran dollar," cuitnya.

Ia menyatakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung merupakan proyek mubazir. Bahkan ia mengaku sudah menduga proyek tersebut bakal bermasalah sejak awal.

"Proyek mubazir ini sudah ditengarai bermasalah sejak awal," ujarnya.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 4 September 2021: Elsa Lakukan Percobaan Bunuh Diri karena Overthinking Soal Nino

Faisal Basri pun membagikan link tulisan soal proyek tersebut pada 3 September 2015. Berikut tulisannya pada faisalbasri.com:

Kalau lancar, Jakarta-Bandung bisa ditempuh paling lama 2 jam lewat jalan tol Cipularang. Pilihannya pun banyak. Bisa dengan kendaraan pribadi, travel seperti Cititrans atau Baraya atau Cipaganti dan banyak lagi, dan bus. Titik awal dan titik akhir sangat banyak. Mau dari Bandara Soekarno-Hatta, Hotel Kartika Chandra, SCBD, Bintaro, BSB, Kampung Rambutan, Lebak Bulus, dan banyak lagi. Di Bandung bisa turun dimana saja sejak keluar dari pintu tol Pasteur hingga tujuan akhir yang beragam pula. Jadi sangat fleksibel, dari titik awal terdekat dengan rumah atau kantor ke tujuan akhir yang paling dekat.

Pilihan lain adalah kereta api Parahyangan dari Gambir atau Jatinegara. Waktu tempuh lebih pasti, sekitar 3 jam. Bisa juga naik pesawat, sekitar 20-25 menit.

Kereta cepat (bullet train) ditargetkan sekitar 45 menit. Jadi mengirit waktu 2 jam 15 menit dibandingkan dengan kereta api Parahyangan atau 1-1,5 jam lebih cepat dibandingkan dengan kendaraan pribadi atau travel tanpa macet.

Jadi, rasanya kehadiran kereta cepat sangat tidak mendesak. Apalagi mengingat kereta cepat sejenis Shinkansen pada galibnya hadir untuk jarak jauh seperti Tokyo-Osaka yang jaraknya hampir sama dengan Jakarta-Surabaya.

Kereta cepat adalah substitusi atau pesaing dekat pesawat terbang. Ada beberapa kelebihan kereta cepat dibandingkan pesawat terbang untuk jarak jauh. Pertama, stasiun kereta cepat biasanya berlokasi di tengah kota sehingga mudah dan lebih cepat terjangkau. Kedua, tidak membutuhkan waktu lama sebelum keberangkatan, sedangkan naik pesawat butuh waktu setidaknya rata-rata 1 jam. Ke Surabaya misalnya, waktu terbang sekitar 1,5 jam. Check in satu jam sebelumnya. Proses sebelum take off dan pengambilan bagasi di tempat tujuan juga butuh waktu. Belum lagi waktu ke dan dari bandara. Total bisa memakan waktu sekitar 5 jam.

Jika dengan kereta cepat, Jakarta-Surabaya bisa ditempuh sekitar 2,5 jam. Tiba di stasiun lima menit sebelum berangkat masih memungkinkan. Jadi, jauh lebih cepat dibandingkan dengan pesawat terbang.

Kereta cepat Jakarta-Surabaya setidaknya bisa singgah di Cirebon dan Semarang, sehingga load factor bisa dioptimalkan. Kedua kota itu sudah memiliki daya beli yang memadai untuk memanfaatkan jasa kereta cepat yang lumayan mewah. Jadi, dari segi permintaan tampaknya kereta cepat Jakarta-Surabaya jauh lebih menjanjikan dan kompetitor dekatnya hanya pesawat terbang.

Kelebihan lain, penumpang bisa istirahat nyaman selama perjalanan dengan kereta cepat, senyaman di pesawat. Bisa beraktivitas untuk menyelesaikan pekerjaan kantor atau membaca.

Untuk mengirit biaya, pembangunan rel kereta api cepat bisa di atas rel kereta api konvensional, jadi tidak ada ongkos pembebasan tanah.

Baca Juga: Soroti Kasus Narkoba Coki Pardede, Hilmi Firdausi: Dia Sering Menghina Islam, Hari ini Allah Tampakkan Aibnya

Yang aneh dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah keikutsertaan PTPN VIII. Apakah pantas perusahaan perkebunan dipaksa berinvestasi di sektor perkeretaapian? Mengapa PTPN VIII tidak didorong untuk mengembangkan industri pengolahan produk-produk perkebunan saja?

Kalau ngotot terus dijalankan, tolong dihitung juga besarnya pinjaman dalam valuta asing (reinmimbi) dan beban pembayaran bunga dan cicilan dalam valuta asing, sedangkan penerimaan seluruhnya dalam rupiah. Ingat pula, dalam lima tahun terakhir rupiah terdepresiasi 100 persen terhadap renminbi.

Bandingkan kalau pinjaman dalam yen yang menguat terhadap rupiah jauh lebih kecil ketimbang renminbi.

Analisis maslahat-ongkos (cost-benefit analysis) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung rasanya kurang meyakinkan. Kesannya terlalu dipaksakan.***

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler