Sembilan Netizen +81 Jadi Korban, 'Jagal Twitter’ Dijatuhi Hukuman Mati

- 16 Desember 2020, 10:42 WIB
Ilustrasi Twitter.
Ilustrasi Twitter. /Pexels/Brett Jordan/

Baca Juga: Wow, Terbaru, Harga Emas Hari Ini, Rabu 16 Desember 2020, Harganya Anjlok

Jepang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara industri Kelompok Tujuh, dengan lebih dari 20.000 orang bunuh diri setiap tahun.

Meskipun tingkat bunuh diri telah menurun sejak mencapai puncaknya pada tahun 2003, angka tersebut tetap tinggi di kalangan dewasa muda dan anak sekolah.

Sementara itu, mengetahui adiknya hilang, sang kakak melapor ke polisi keesokan harinya. Saat tengah mencari informasi tentang hilangnya si adik,  di Twitter, kakak laki-laki korban dihubungi seorang wanita tak dikenal.

Baca Juga: ILC TVOne Berakhir, Sujiwo Tedjo: Kalau Bukan Pengaruh Luar, Ini Pasti Topiknya Soal FPI

Wanita tersebut mengatakan adiknya bertemu Taka. Beruntung ia setuju untuk bekerja sama untuk mencari tahu. Dibantu polisi, mereka membuat janji palsu untuk bertemu Taka.

Dua penyelidik kemudian mengikuti Taka saat pulang ke apartemennya. Saat  membuka pintu, polisi langsung bertanya apakah dia mengenal atau mengetahui keberadaan korban yang hilang.

Kala itu dengan dingin Taka menunjuk ke salah satu dari delapan pendingin dan menjawab pendek. “Dia ada di sini,” katanya seperti dikutip NHK dari  sumber investigasi.

Baca Juga: Ridwan Kamil Serahkan Dokumen Pembentukan Kabupaten Bogor Barat ke Ditjen Otda

Jepang menjadi satu dari sedikit negara maju yang mempertahankan hukuman mati dengan dukungan publik yang tetap tinggi.

Eksekusi terakhir dilakukan pada Desember 2019 ketika seorang pria Tiongkok digantung karena membunuh empat anggota keluarga.

Sekitar 500 orang Jepang di bawah usia 20 tahun bunuh diri setiap tahun dan survei Yayasan Nippon tahun lalu menunjukkan satu dari empat orang mempertimbangkan secara serius untuk bunuh diri.

Baca Juga: Update Harga Emas di Jakarta, Bandung dan Surabaya: Antam Masih di Bawah Rp 1 Juta

Dalam beberapa kasus, korban bunuh diri massal setelah bertemu di  apa yang disebut 'situs bunuh diri'.

Fenomena ini mendorong pemerintah menindak orang-orang yang menggunakan internet untuk memosting keinginan terkait kematian mereka.

Isu ini pertama kali menjadi berita utama tahun 2005 saat total 91 orang melakukan 'bunuh diri berkelompok' setelah saling menghubungi secara online.

“Sudah lama menjadi tabu di Jepang untuk membicarakan kematian dan bunuh diri.. tetapi dengan mudah ini dibicarakan di media sosial,” ujar Akiko Mura, anggota eksekutif Befrienders Worldwide Tokyo kepada AFP pada 2017.

Baca Juga: ILC TVOne Berakhir, Sujiwo Tedjo: Kalau Bukan Pengaruh Luar, Ini Pasti Topiknya Soal FPI

Mura  mengatakan Taka kemungkinan besar berhasil membuat para korban percaya dengan meyakinkan mereka bahwa dia memahami keinginan untuk mati.

“Mereka mungkin mengira dia satu-satunya orang yang dengan tulus mendengarkan masalah mereka,” katanya.

Meski Taka  terbukti memanfaatkan media sosial untuk menyasar korban,  Mura memperingatkan orang-orang yang depresi tetap membutuhkan kanal untuk melampiaskan perasaan.

“Orang membutuhkan tempat di mana mereka dapat didengar. Tanpa itu, aku khawatir jumlah kasus bunuh diri kemungkinan akan meningkat,” paparnya.

Baca Juga: Ini Dia Pemaster yang Cocok untuk Burung Lomba! Bisa Gunakan Tembakan Cililin

Empat hari setelah mayat korban ditemukan di apartemen Taka di pinggiran Tokyo, Twitter meluncurkan aturan baru berupa larangan bagi pengguna untuk mempromosikan, mendorong atau menyakiti diri sendiri.

Namun Twitter tetap memperbolehkan cuitan yang mengungkapkan keinginan bunuh diri.

Well-wait-what?!***

Halaman:

Editor: Mia Fahrani

Sumber: dailymail


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x