Ia pun memberikan contoh konkretnya. Emil mengambil sebuah sikap saat masyarakat berlalulintas.
"Seperti berlalulintas kita pun dibatasi di lampu setopan, kebebasan ekspresi pun dibatasi, oleh nilai 'kesepakatan budaya dan kearifan lokal'. Itulah kenapa isu 'mural kritik' kelihatannya hari ini masih berada di ruang abu-abu," terangnya.
Mantan Wali Kota Bandung itu menambahkan, jika belum ada kesepahaman, maka tafsir boleh/tidak boleh akan selalu menyertai perjalanan dialektika 'ini kritik atau hinaan' dalam perjalanan demokrasi bangsa ini.
Baca Juga: Pembelajaran Tatap Muka Dimulai, Ketua DPRD Minta Komitmen Serius Pendisiplinan Prokes
"Dalam perspektif saya, Mural adalah seni ruang publik yang 'temporer'. Ada umurnya," lanjutnya.
"Pelaku mural juga harus paham dan jangan baper, jika karyanya suatu hari akan hilang. Apalagi tanpa ijin pemilik tembok. Bisa pudar tersapu hujan, dihapus aparat ataupun hilang ditimpa pemural lainnya. Mari berdialog," tutup Emil.***