Jelang HUT Ke-76, Tiga Mandat Reformasi Tak Dipenuhi TNI

- 4 Oktober 2021, 19:12 WIB
Ilustrasi. TNI belum penuhi tiga mandat reformasi.
Ilustrasi. TNI belum penuhi tiga mandat reformasi. /PEXELS.com/Pixabay

 

GALAMEDIA - Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 TNI pada 5 Oktober 2021, tiga dari tujuh mandat reformasi TNI belum terpenuhi.

Hal tersebut ditemukan dalam riset Setara Institute mengenai “Catatan Kinerja Reformasi TNI 2021 dan Temuan Survei Opini Ahli tentang Kandidat Panglima TNI” yang digelar mulai 20 September 2011 hingga 1 Oktober 2021.

Kerangka 7 mandat reformasi ini dideduksi dari TAP MPR No VII/MPR/2000 tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri serta Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Dari 7 mandat yang kami susun pada catatan tahun ini, kami mencatat ada tiga mandat yang masuk dalam kategori ketidakterpenuhan mandat reformasi TNI,” kata Peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie saat memaparkan hasil risetnya secara daring, Senin, 4 Oktober 2021.

Baca Juga: PTM Positivity Rate 5 Persen, Menkes Budi Gunadi Sadikin: Kita Minta Tutup Dulu Selama Dua Minggu

Disebutkan, tiga mandat yang ditemukan belum terpenuhi atau belum dilaksanakan secara tepat oleh TNI adalah penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil, kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara serta larangan menduduki jabatan sipil.

Terkait mandat penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil, Setara Institute menyoroti tiga hal.

Pertama, setidaknya terdapat empat kasus yang mendapat sorotan publik luas terkait kekerasan aparat TNI terhadap masyarakat yang terjadi selama periode penelitian ini. Kasus-kasus tersebut terjadi di Merauke, Purwakarta, dan NTT.

Meski begitu, diakuinya, secara kuantitas, keempat kasus tersebut tentu tidak dapat mewakili pelbagai tindakan atau dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oknum prajurit TNI terhadap masyarakat. Karena sejumlah kasus kekerasan itu ibarat puncak gunung es, terutama jika rentang waktu diperluas.

“Namun, secara umum, empat kasus tersebut memberi gambaran kepada masyarakat bahwa kasus kekerasan oleh aparat itu masih terjadi hingga kini,” ujar Ikhsan.

Persoalan kekerasan ini makin sulit terselesaikan lantaran TNI masih menikmati privilege selama belum direvisinya UU 31/1997 tentang Peradilan Militer.

Baca Juga: Kemensos Ungkap Alasan Penerima Bansos PKH Tak Terima KIS, PBI dan KIP

“Inilah menjadi salah satu hal yang yang menyebabkan kasus kekerasan ini masih terjadi dan akan sulit terselesaikan,” kata Ikhsan.

Kedua, minimnya imparsialitas atau akuntabilitas peradilan militer. Tuntutan hukuman terhadap 11 prajurit TNI AD dari Batalion Perbekalan Angkutan (Yon Bekang) 4/Air yang terlibat dalam kasus penyiksaan/pengeroyokan terhadap seorang pria bernama Jusni (24 tahun) hingga tewas di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 9 Februari 2020, sama sekali tak mencerminkan keadilan. Tuntutan hukuman yang hanya 1 sampai 2 tahun penjara tersebut memicu ketidakpuasan keluarga korban.

“Rendahnya tuntutan itu membuktikan bahwa proses persidangan berjalan tidak objektif dan tidak adil. Selain itu, tuntutan rendah tersebut juga disertai dugaan rekomendasi sang atasan agar Oditur Militer meringankan hukuman. Bentuknya adalah rekomendasi keringanan hukuman,” terang Ikhsan.

Kemudian potret impunitas melalui tuntutan yang rendah tersebut semakin mengecewakan dengan putusan tingkat banding Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, melalui Putusan Nomor 86-K/BDG/PMT-II/AD/XII/2020 menghapus sanksi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer kepada dua orang terdakwa.

Baca Juga: Deddy Corbuzier Terkena Demam Squid Game, Jadi Jawara Main Kelereng dan Tarik Tambang Solo?

Ketiga, pengaturan komponen cadangan. Menurutnya, selain mengenai urgensi pembentukannya yang dipertanyakan, kritikan masyarakat sipil terhadap komponen cadangan juga mengenai persoalan hak-hak konstitusional warga negara dan mengganggu kehidupan demokrasi.

Kritikan lainnya adalah penggunaan hukum militer bagi komponen cadangan selama masa aktif sebagaimana diatur pada pada Pasal 46 UU PSDN. Selain itu, pengaturan komponen cadangan tidak memberi ruang pengaturan untuk menolak mengikuti berdasarkan keyakinan.

Selanjutnya, terkait mandat kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara, Setara Institute memberikan contoh keterlibatan TNI menurunkan baliho FPI. Pengerahan atau pelibatan TNI dalam penurunan baliho ini tentu tidak memiliki dasar hukumnya dalam pengaturan UU TNI.

Baca Juga: Bela Mensos Risma dan 2 Menteri Lain yang Sering Marah, Epidemiolog: Mereka Bekerja Pakai Nalar

UU TNI secara eksplisit menyebut bahwa TNI dalam perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan dalam pelaksanaan OMSP harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

“Tidak mungkin penurunan baliho ini diluar kemampuan Satpol PP dan Kepolisian untuk menanganinya. Kamtibmas pun jelas merupakan wilayah kerja Kepolisian dan Satpol PP,” kata Ikhsan.

Kemudian, mandat terkait larangan menduduki jabatan sipil belum terpenuhi, dengan adanya penempatan TNI aktif sebagai Staf Khusus Menparekraf Bidang Pengamanan Destinasi Wisata dan Isu-Isu Strategis

“Padahal, jabatan di Kemparekraf bukanlah menjadi jabatan sipil yang dikecualikan dalam UU TNI,” katanya.

Ikhsan menilai penempatan TNI pada jabatan sipil di atas mencerminkan pemerintah tidak belajar dari berbagai kritik masyarakat sipil sebelumnya mengenai penempatan TNI aktif sebagai komisaris BUMN.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah