Baca Juga: Dedi Mulyadi Tanggapi Ceramah Ustadz Khalid Basalamah Terkait Wayang Haram: Haram Kalau Dimakan
Asrorun memaparkan, upaya digitalisasi dalam platform metaverse merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang bersifat muamalah.
Artinya, lanjut Asrorun, teknologi itu dapat memudahkan para calon jamaah untuk mengenal lebih dalam lokasi-lokasi ibadah sebelum nantinya pergi langsung ke Tanah Suci untuk berhaji.
“Mulai dari mana nanti tawafnya, kemudian di mana Al Mustajabah tempat-tempat mustajab, di mana Maqam Ibrahim, kemudian di mana Hajar Aswad, kemudian di mana Rukun Yamani, dan di mana Mas’a. Maka dengan teknologi itu bisa lebih mudah dikenali sehingga tergambar oleh calon jamaah,” urainya.
Ditegaskan Asrorun, melihat atau mengelilingi Kabah dengan menggunakan teknologi secara metaverse merupakan hal yang baik, tetapi tidak dapat dikatakan sedang berhaji karena tak memenuhi syarat-syarat haji.
Asrorun menyatakan, pelaksanaan Ibadah haji harus dihadiri oleh umat Islam secara fisik di tempat-tempat yang telah ditentukan, seperti di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, Kabah, Shafa dan Marwa.
Selain itu, waktu pelaksanaan ibadah haji telah ditentukan dan disepakati bersama oleh umat Islam, yakni pada bulan Dzulhijjah.
“Tetapi bukan berarti kita cukup dan boleh hanya melalui media virtual itu saja, kalau haji lewat metaverse ya enggak sah," tegas Asrorun.***