Idealnya, kata Khabsyin, HPP harus berada di atas BPP agar petani tebu di Indonesia bisa merasakan keuntungan.
"Dalam Munas, APTRI merekomendasikan ke pemerintah untuk menetapkan HPP sebesar Rp11.500/kg. Angka tersebut kami anggap wajar agar petani bisa untung dan tidak memberatkan konsumen. Kami minta kenaikan HPP karena bulan Mei 2022 sudah memasuki musim giling," tuturnya.
Sementara untuk besaran harga acuan HET, APTRI mengusulkan Rp14.000/kg atau HET dihapus saja.
Baca Juga: Tren Kasus Covid-19 Mulai Melandai, Pemerintah Akan Ubah Status Pandemi Jadi Endemi
Dalam rekomendasi Munas, APTRI juga menyoroti banyaknya gula rafinasi yang sering bocor di beberapa daerah.
Hal tersbeut menunjukkan bahwa ada kelebihan jumlah gula yang diimpor, sekaligus menunjukkan juga ada mekanisme dalam perdagangan gula rafinasi yang perlu dibenahi.
"Impor gula rafinasi dan juga gula konsumsi agar dibatasi," tuturnya.
Sementara terkait pupuk, APTRI juga menolak rencana pencabutan subsidi untuk pupuk jenis ZA karena pupuk ZA merupakan jenis pupuk yang sangat dibutuhkan petani tebu.
"Kami juga mendesak agar pemerintah memfasilitasi petani tebu untuk menyewa lahan HGU milik negara karena selama ini ratusan ribu hektare lahan HGU disewa oleh perusahaan gula baik BUMN maupun swasta dengan harga murah. Sedangkan petani tebu menyewa lahan milik masyarakat dengan harga lebih tinggi," kata Khabsyin.